Saifuddin Gani, SH (Advokat di Banda Aceh)
Belantara pemikiran politik di Indonesia dengan episentrum Aceh, pasca-deklarasi Partai GAM (7 Juli 2007) lalu, kembali bergolak. Berbagai persepsi, pandangan dan pendapat muncul.
Pergolakan pemikiran politik itu justru terjadi di tataran pejabat pemerintah pusat. Mereka sangat berat mengkhawatirkan seperti dikemukakan Prof Dr Muladi, gubernur Lemhanas, bahwa didirikannya partai GAM yang menggunakan atribut bendera GAM akan berujung pada referendum, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Muladi, Gubenur Lamhanas.
Kekhawatiran juga diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta. Ia menyatakan AD/ART partai GAM merupakan instrument dalam rangka membentuk suatu negara diluar NKRI. Karena itu menurut Andi Matalatta, pendirian partai GAM tidak boleh berlawanan dengan tiga semangat prinsip pada MoU Helsinki, perdamaian, rekonsiliasi dan reintegrasi. Hal senada juga disampaikan oleh Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Supiadin AS, demi semangat perdamaian agar dapat membangun kepercayaan, diharapkan para petinggi partai GAM tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang tertuang dalam MoU Helsinki, termasuk penggunaan atribut dan symbol partai yang lebih netral agar tidak menimbulkan konflik horizontal. Jika symbol yang digunakan akan membayangkan kembali warna GAM, itu berarti pihak GAM belum sepakat dengan MoU.
Kegelisahan pemerintah berdirinya partai GAM terutama pada symbol yang digunakan. Karenanya, Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR-RI, meminta agar parpol GAM tidak menggunakan simbol-simbol GAM. Itu yang harus dihilangkan dan ditinggalkan dahulu karena masih mengingatkan suasana konflik, padahal saat ini kita sudah melalui proses damai.
Kegelisahan dan kekhawatiran tersebut ditanggapi berbeda oleh banyak pihak, terutama dari KPA, sebagaimana disampaikan oleh juru bicara KPA, Ibrahim bin Syamsyuddin, yang menyatakan respon pemerintah terhadap pendirian partai politik local (parlok) oleh para mantan kombatan GAM, menunjukkan bahwa Jakarta belum ihlas dengan semangat perdamaian yang telah dibangun. Padahal para petinggi GAM dan seluruh mantan kombatan telah ihlas hidup dalam bingkai NKRI sebagai konsekwensi dari MoO damai di Helsinki.
Sementara Sahar L Hasan, Sekjen DPP Partai Bulan Bintang, justru mendukung kehadiran parlok GAM. Sedang masalah lambamg yang dipakai adalah aspirasi dan keinginan mereka, kalau memang nanti disahkan oleh yang berwenang, harus diterima.
Terhadap perbedaan pandangan tersebut, Otto Syamsyuddin Ishak, menyatakan bahwa polemik yang muncul hanya satu bayang-bayang orang Jakarta sendiri tentang Aceh, hanya bayangan negatif yang merasa terganggu dengan partai lokal. Pemerintahan Aceh melalui Wagub Muhammad Nazar, menanggapi polemik tersebut sebagai respon pusat yang terlalu berlebihan. Menurutnya pihak GAM tidak mungkin melakukan referendum, karena bertentangan dengan naskah kesepahaman (MoU) perjanjian damai Helsinki.
Serahkan saja kepada Departemen Hukum dan HAM untuk menilai boleh atau tidaknya keberadaan parlok GAM di Aceh. Dan semua pihak harus tunduk di bawah sistem Indonesia. Dan tampaknya pro-kontra itu khususnya pada atribut yang digunakan. Mungkin jika saja bukan memakai bendera GAM, maka parlok ini tidak mengundang polemik politik.
Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, karena simbol hanya menandai untuk suatu target politik partai untuk menjaring konstituen masyarakat. Dengan kata lain sebagai langkah kampanye media yang sebenarnya sudah dikenal efektif dalam pasar politik selama ini, tanpa harus mengeluarkan cost seperti iklan media.
Maraknya tanggapan atas kehadiran parlok GAM sangat menguntungkan karena dianggap partai itu berkualitas dibanding dengan metode kampanye pariwara. Sungguh jika pandai membaca bahwa hal ini menjadi strategi efektif oleh petinggi-petinggi parlok GAM untuk menjaring perhatian publik. Dan kelihatannya, banyak pihak yang bukan bahagian dari partai secara tidak langsung telah terseret dalam strategi kampanye partai politik GAM.
Parlok GAM begitu cerdas melaksanakan metode pameran politik (political marketing). Dalam teori pemasaran politik, kenyataan tersebut adalah awal dari sebuah kemenangan partai politik, dan patut diperhitungkan dalam percaturan politik.
Kerisauan masyarakat
Perdebatan panjang goal parlok berlambang GAM justru dikhawatirkan menimbulkan keresahan baru dalam masyarakat Aceh. Padahal rakyat baru saha terbebas dari konflik dan kekerasan dan sedang berbenah mengisi masa damai saat ini. Sehingga mengangkat kembali topik GAM sebagai icon, ibarat mengundang kembali situasi dan kondisi lama dalam bentuk konflik baru. Setidaknya itu diingatkan Wagub Muhammad Nazar, bahwa kehadiran partai GAM di Aceh tidak perlu ditanggapi berlebihan, yang justru bisa membuka peluang tersakitinya rakyat Aceh kembali.
Polemik itu mengingatkan saya pada sebagai puisi yang ditulis Hasbi Burman (presiden rex, red) “kembali menginjak kerikil lama” yang kemudian saya angkat sebagai judul opini ini. Semoga kekhawatiran dan kegelisahan ini tidak lebih hanya karena trauma saja. (Serambi, 30/07/2007 10:28 WIB)
Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1119
Memalukan… Katanya Ekonomi Syariah, Kok Pakai Debt Collector
-
J Kamal Farza: Ini Tindakan Melawan Hukum
BANDA ACEH – J Kamal Farza, pengacara Razali, pemilik toko komputer
Simbadda di Jalan Pocut Baren yang ditodong d...
12 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar