Kamis, 28 Agustus 2008

Gambaran Birokrasi Kita: Kalau Bisa Dipersulit Ngapain Dipermudah


Oleh: Cut Hasniati | Direktur LBH Anak Wilayah Singkil

Kita membenarkan yang biasanya bukan membiasakan yang sebenarnya




Mungkin pembaca sering mendengar iklan sebuah perusahaan rokok yang sering nangkring di televisi, yang berbunyi ‘kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah, tanya kenapa?’

Bagi kita yang hanya sepintas mendengar iklan ini tidak ada kesan yang sangat berarti, tapi kalau kita simak dengan teliti, ada pernyataan mendalam yang terjadi pada bangsa ini, sampai-sampai gambarannya tercermin dalam sebait pernyaataan dalam iklan perusahaan rokok diatas.

Bukannya kita tidak punya sumber daya alam, bahkan bisa dibilang malah sumber daya alam kita melimpah ruah. Didukung pula dengan sumber daya manusia yang secara keilmuan sudah memadai, walaupun jumlahnya masih terbatas. Analisis saya, kita mempunyai sumber daya yang cukup, yang buruk sebenarnya adalah sumber daya manusia tersebut yang sudah terjangkit penyakit ‘keropos moral’, terutama para birokratnya dan masyarakat yang terkomtaminasi penyakit keropos moral ini.

Contoh dekat, kalau para birokrat, keropos moralnya terealisasi dari pelaksanaan tugasnya sehari-hari sebagai pelayan yang minta dilayani, meminta fee (uang jasa layanan) kalau masyarakat datang minta layanan, suka mengambil uang sogok dari masyarakat yang sudah diketahui kalau perbuatan itu jelas-jelas melanggar peraturan. Juga suka menyogok para atasan untuk mendapat posisi--walaupun dia dan atasan yang disogok paham kalau sogokan itu ditujukan untuk duduk pada posisi yang sebenarnya sang penyogok tidak layak--di posisi tersebut. Akibatnya, hampir semua posisi diduduki oleh orang yang mempunyai koneksi dan kepemilikan amplop sesuai dengan standar posisi yang ingin didudukinya, tanpa dibarengi dengan kualitas dan kemampuan kerja yang sesuai dengan posisinya.

Akibatnya, public service jadi terancam, karena si birokrat harus mengeluarkan banyak modal untuk memuluskan jabatannya. Otomatis kelakuan meminta uang tebusan untuk pengembalian modal pun kemudian dilakukan dan yang menjadi korban utama atas politik tebus ini tentu saja masyarakat. Malah imbasnya bukan itu saja. Karena minusnya kapasitas, keilmuan, pengalaman, pengetahuan tentang tupoksi dibidang yang didudukinya, akhirnya program yang dijalankan tidak mengena sesuai bidangnya. Acapkali program mencaplok program orang lain dan diusulkan karena memenuhi kepentingan, tanpa berfikir kesesuaian dengan tupoksi untuk selanjutnya mendukung pembangunan secara keseluruhan.

Begitu juga perkembangan penyakit ‘keropos moral’ dalam masyarakat yang telah menjalar mengalahkan penyakit lain seperti TBC, Malaria dan HIV/AIDS. Hal ini tergambar dari budaya adu domba, permusuhan, pemaksaan kehendak dengan cara yang tidak demokratis, loss culture dan mudah terprovokasi. Sejalan dengan perilaku birokrat yang buruk, masyarakat pun cenderung menurut dan menjadikan keadaan ini sebagai hal yang harus diikuti. Misalnya, kalau birokrat memberi kesempatan sogok, maka masyarakat pun dengan senang hati melayaninya dengan memberikan upeti yang jelas diketahuinya itu ditujukan untuk keperluan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Setali tiga uang dengan birokrat, akhirnya proses dan pelayanan publik kita semakin terpuruk dan keadaan itu akhirnya diiterima sebagai hal yang wajar terjadi. Karena birokrat merasa enak dengan pola memperlambat dari pada mempermudah. Tentu saja impactnya adalah meningkatnya income baru bagi birokrat dari proses memperlambat. Hasilnya, Birokrat semakin terbiasa dan menjadikan masyarakat sebagai pelayan, bukan sebagai subject yang dilayani.

Entah darimana awalnya, adagium ‘kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah ini’ kemudian menjalar seperti penyakit yang sudah akut. Hasilnya, hampir semua lini kegiatan khususnya di pemerintahan, memang sengaja untuk mempersulit pelayanan yang diminta masyarakat, baik dari hal yang sepele apalagi yang memerlukan penanganan yang yang lebih serius tidak akan pernah diselesaikan dalam waktu cepat. Kenapa begitu sulit menerapkan Standar Operating Procedure (SOP), Pelayanan Satu Atap (One Top Service), Pencapaian Output bukan Absensi untuk semua pelayanan surat dan berbagai bentuk sertifikasi lainnya. Kenapa untuk satu bentuk surat keluar saja (contoh surat keterangan miskin, surat keterangan sehat, surat keterangan penduduk setempat dll) memerlukan waktu minimal 3 hari. Hal ini akan lebih panjang lagi, apalagi untuk mengurus surat yang mungkin substansinya lebih berat lagi. Output Pelayanan Prima yang digaungkan oleh pemerintah sebagai wujud dari fungsi pelayanan aparatur tidak pernah tercapai dan hanya live service belaka!.

Akibat dari adagium ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’, ternyata bukan hanya membawa pengaruh negatif kepada public service tapi juga anggaran operasional keuangan negara pun ikut-ikutan terkuras dibuatnya. Karena waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan demikian panjang, maka diperlukan dana transportasi, lembur, uang lelah dan lain-lain sejenisnya untuk aparatur yang melayani kepentingan masyarakat tersebut.

Bayangkan saja, hampir terjadi diseluruh anggaran baik di Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, terjadi pemborosan dan ketidakproporsionalitasan antara belanja publik dan belanja operasional. Belanja Operasional acapkali harus lebih besar dari Belanja Publik, semuanya diperuntukkan untuk aparatur yang bekerja untuk melayani masyarakat. Tidak cukup dari anggaran pemerintah, fee atau uang ‘terimakasih’ pun masih diterima dari masyarakat. Karena terkooptasi mudahnya menghabiskan anggaran Negara dari operasional, ditambah lagi banyak uang masuk kanan kiri dari masyarakat, masyarakat pun menjadikan pegawai pemerintahan sebagai pekerjaan yang diimpi-impikan. Kalau belum punya status ‘pegawai’ yang bersangkutan dianggap belum mempunyai pekerjaan tetap. Fenomena yang aneh bukan!!

Bentuk dan praktek yang menghambat pelayanan dan servis kepada masyarakat, terjadi disemua bidang. Bahkan disinyalir, berbagai proyek dan program pemerintah baik pusat maupun daerah (provinsi dan kabupaten) menjadi lambat dan tidak terealisasi karena tidak pekanya para aparatur. Mulai dari pengusulan program yang syarat kongkalikong, pelaksanaan program yang tidak mempunyai perencanaan yang fixed, serta realisasi program yang tidak berkualitas. Seringkali setelah program disahkan, para aparatur tetap saja seperti orang tidak berpengalaman dalam mengaplikasikan program. Padahal peraturan untuk program pemerintah, biasanya hanya dua yaitu jasa (pelayanan) dan pengadaan barang/bangunan.

Misalnya saja untuk program fisik, sesuai Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan waktu yang harus diikuti dan normalnya bila memang harus tender bebas tidak melebih waktu 45 hari. Namun acapkali program fisik terlambat bahkan urung dilaksanakan karena keterlambatan proses dan pelaksanaan tender. Akhirnya, yang menjadi korban dari terlambatnya pelaksanaan program tersebut adalah rakyat. Bahkan disinyalir banyak program dilaksanakan terburu-buru dan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja). SPK tidak dibuat sebelum pekerjaan dilakukan, tapi dibuat saat pencairan dana, walaupun semua pihak sadar benar bahwa pekerjaan tanpa SPK adalah illegal. Gambaran lamban dan tidak profesionalnya pelaksanaan program pemerintah daerah sangat kentara kita rasakan, bahkan anehnya berlangsung dari tahun ke tahun anggaran tanpa perbaikan yang berarti.

Bukan hanya teknis yang bermasalah, ditambah lagi substansi dan kualitas program yang diusulkan tidak menyentuh grassroot. Acapkali, program tidak mempunyai perencanaan yang baik, tidak mempunyai analisis SWOT, logframe, TOR, perencanaan pelaksanaan, proses monitoring dan evaluasi program. Usulan program tidak didasarkan pada needs tapi berdasarkan lobby dan kepentingan kelompok, politis dan golongan para Politisi Dewan dan Birokrat Pemerintahan. Hilang sudah aspirasi dan keperluan rakyat yang diagung-agung kan telah dilewati dalam proses Musrenbang Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Nasional. Proses aspiratif ini hanya menjadi pemanis mulut bahwa sudah ada mekanisme penampungan aspirasi, walaupun akhirnya aspirasi itu tinggal dalam catatan dan akhirnya dibuang karena sudah lapuk dimakan usia, tanpa pernah diambil substansinya. Karena yang disahkan oleh para elit tetap saja usulan program berdasarkan kepentingan elit dan kelompoknya. Kabarnya semua itu dilakukan untuk memenuhi janji didaerah kampanye, ditambah lagi usulan itu harus dikerjakan oleh perusahaan kontraktor person pengusul di pengesahan anggaran, yang notabene adalah anggota dewan.

Gambaran ini merupakan cerminan kondisi dan fakta dilapangan. Terkadang karena sudah terlalu sibuk dengan sistem yang telah terpola itu, akhirnya kita semua merasa yang berjalan adalah hal yang wajar dan sekali lagi kita terkooptasi dengan kalimat “ kita membenarkan yang biasanya bukan membiasakan yang sebenarnya”.

Sumber: http://www.acehinstitute.org/opini_cut_hasniati_gambaran_birokrasi_kita.htm

Tidak ada komentar: