Kamis, 25 September 2008

Tantangan Hukum di Indonesia: Dari Penyimpangan Menuju perbaikan, Betapa Sulitnya


Oleh : Drs. Basa Alim Tualeka, MSi

Sebagai Pemerhati dan Praktisi Pendidikan, sebuah tantangan besar membuka mata hati saya untuk terus berpikir : “Kenapa dan kenapa sulit membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kami cintai ini agar TAAT Hukum dan terlepas dari jerat manusia-manusia rakus dan serakah yang hanya ingin berjuang menghalalkan berbagai cara untuk melakukan pembohongan dan memberikan pembodohan kepada masyarakat pendidikan yang kondisinya masih terpuruk hingga saat ini.

Sebagai pemerhati, praktisi dan usahawan, jiwa sebagai pemerhati dan praktisi di bidang pendidikan tidak mungkin hilang dalam diri saya. Berbeda dengan jiwa usahawan yang hari ini ada, besok bisa tiada. Itu sebabnya, memperhatikan kondisi pendidikan saat ini, saya sungguh tergelitik untuk berani menyampaikan informasi diberbagai pertemuan yang bersifat formal ataupun kepada masyarakat umum serta pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal itu saya lakukan karena begitu banyaknya penyimpangan tentang pelaksanaan BOS, BOS BUKU, DAK Pendidikan yang terjadi sejak tahun 2005, 2006, 2007 hingga sekarang. (Data dari masyarakat, LSM, Surat Kabar, Pengawas, dan Yudikatif ada pada saya).

Adanya persepsi yang dimunculkan oleh seseorang melalui email dan dieksploitasi oleh pers dan LSM yang saya anggap ceroboh tanpa melakukan cek dan recek dan sebagian bersifat fitnah, bohong tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tentang keterlibatan saya waktu menyampaikan KIAT – KIAT MELAKSANAKAN DAK 2008 BIDANG PENDIDIKAN SESUAI JUKNIS DAN PENJABARANNYA yang dilaksanakan setelah selesai acara penerangan hukum oleh pihak Kejati Jawa Timur dan Depdiknas, saya menduga bahwa pengirim berita tersebut dimuati oleh perilaku sebagian orang/pengusaha yang ingin tetap mendukung terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan DAK tahun 2006 dan 2007 dapat terlaksana lagi di tahun 2008. Ini merupakan suatu Tantangan bagi saya selaku pemerhati, praktisi, usahawan dan pihak Penegak Hukum khususnya.

Sebagai Pemerhati dan Praktisi Pendidikan, saya ingin memberikan informasi agar masyarakat dapat mengetahui lebih jelas dan teliti tentang apa yang terdapat di dalam Juknis DAK 2008 berbeda dengan Juknis DAK tahun-tahun sebelumnya, dimana peranan Bupati & Walikota untuk melakukan verifikasi terhadap barang/buku/sarana multimedia harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pembelian oleh pihak sekolah dilakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Juknis DAK Pendidikan tahun 2008. Itu sebabnya, informasi yang saya lakukan adalah untuk membantu masyarakat sekolah penerima bantuan DAK 2008 dapat lebih hati-hati. Karena jika kurang memahami isi Juknis DAK tersebut, pembeli bisa terjerat hukum karena membeli barang yang down speck dan tidak sesuai spesifikasi yang ditentukan.

Adapun Kiat-Kiat yang saya buat dan sampaikan serta lampirkan dalam acara berbentuk kajian saya tersebut, tidak saya paksakan untuk diikuti walau pada akhirnya bisa membuat kecut para pelaku penyimpangan sehingga memunculkan pemberitaan yang bersifat counter terhadap Kiat-kiat saya tersebut dan menurut dugaan saya, bukan tidak mustahil hal itu didukung oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan pembohongan dan pembodohan kepada para stake holder (sekolah penerima bantuan). Bagi saya, ini suatu tantangan dan akan saya hadapi tantangan dari kelompok/konsorsium pembohong yang rela memasukkan kepala sekolah dan pejabat Diknas ke dalam penjara.

Dari penjelasan saya diatas, mohon kepada pihak-pihak terkait untuk hati-hati terhadap banyaknya musang berbulu domba atau pencuri bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu. Terima kasih.

*Penulis adalah praktisi dan pemerhati pendidikan, Kandidat Doktor UNTAG Surabaya

SUMBER: http://niasonline.net/2008/08/20/tantangan-hukum-di-indonesia-dari-penyimpangan-menuju-perbaikan-oh…-betapa-sulitnya/

Kamis, 04 September 2008

KRONOLOGI ALIRAN DANA BI DAN PENERIMANYA



17 Maret 2003 Tiga mantan direksi BI yang menjadi tersangka kasus BLBI, yaitu Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo, mengirim surat memohon dana operasional dan konsultasi hukum. Besarnya Rp 15 miliar.

20 Maret 2003 Rapat Dewan Gubernur (RDG) I dipimpin Gubernur BI, Syahril Sabirin, menyetujui permintaan itu dengan alasan ketiganya menyalurkan dana BLBI untuk mengatasi krisis moneter dan menyelamatkan sistem perbankan.


3 Juni 2003 RDG II dipimpin Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, meningkatkan dana menjadi Rp 100 miliar, karena bantuan hukum diberikan juga kepada mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono, dan deputi gubernur BI, Iwan R Prawiranata.

Dua deputi gubernur BI, Aulia Pohan dan Bunbunan Hutapea, diminta membicarakannya dengan Lembaga Pengebangan Perbankan Indonesia (LPPI) yang berubah menjadi Yayasan Pengebangan Perbankan Indonesia (YPPI).

22 Juli 2003 RDG III, realisasi dana dari YPPI. Pencairan dilakukan Ketua YPPI, Baridjussalam Hadi, dan Bendahara YPPI, Ratnawati Priyono.

27 Juli 2003 Penanggung jawab penyediaan dana ditunjuk, Kepala Biro Gubernur BI, Rusli Simanjuntak, untuk ke DPR, sementara direktur hukum BI, Oey Hoey Tiong, untuk penyaluran dana bantuan hukum.

Rp 31,5 miliar Mengalir kepada 52 orang anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, untuk revisi UU BI Rp 16,5 miliar dan diseminasi kasus BLBI Rp 15 miliar.

Rp 96,2 miliar Untuk bantuan hukum direksi BI. Penanggung jawab, direktur hukum BI, Oey Hoey Tiong, penerimanya:

1. Soedradjad Djiwandono, dari YPPI Rp 25 miliar, dari Anggaran BI Rp 3,411 miliar. Total Rp 28,411 miliar.

2. Iwan R Prawiranata, dari YPPI Rp 13,5 miliar, dari Anggaran BI Rp 0 miliar. Total Rp 13,5 miliar.

3. Heru Soepraptomo, dari YPPI Rp 10 miliar, dari Anggaran BI Rp 6,748 miliar. Total Rp 16,748 miliar.

4. Hendrobudiyanto, dari YPPI Rp 10 miliar, dari Anggaran BI Rp 6,748 miliar. Total Rp 16,748 miliar.

5. Paul Sutopo, dari YPPI Rp 10 miliar, dari Anggaran BI Rp 6,748 miliar. Total Rp 16,748 miliar.

6. Gabungan tiga mantan, dari YPPI Rp 0 miliar, dari Anggaran BI Rp 4,090 miliar. Total Rp 4,090 miliar.

Total dana bantuan hukum dari YPPI Rp 68,5 miliar dan dari Anggaran BI Rp 27,747 miliar. Secara keseluruhan sebesar Rp 96,247 miliar.

Dana Rp 96,247 miliar mengalir lagi ke berbagai pihak:

1. Pengacara. Menurut keterangan BPK, dana Rp 27,7 miliar yang berasal dari BI, sepenuhnya mengalir ke pengacara. Mereka adalah:

a. Pengacara Soedradjad Djiwandono; Dr Albert Hasibuan SH & Partners Rp 1,43 miliar, Luhut MP Pangaribuan SH LLM Rp 1,43 miliar, dan Pradjito SH MA Rp 551 juta.

b. Pengacara Heru Soepraptomo; Remy dan Darus Rp 6,74 miliar.

c. Pengacara Hendrobudiyanto; Abikusno & Rekan Rp 5,4 miliar, T. Nasrullah Associates Rp 1,34 miliar.

d. Pengacara Paul Sutopo; Malyasyak, Rahardjo & Partners Rp 6,74 miliar.

e. Pengacara tiga mantan; T. Nasrullah Associates Rp 611 juta, Amir Syamsuddin SH Rp 165 juta, Prof Oemar Seno Aji SH MH dan Rekan Rp 3,31 miliar.

2. Kejaksaan Agung. Menurut keterangan Bendahara YPPI di Pengadilan Khusus Tipikor, minggu lalu, dana yang mengalir ke Kejakgung Rp 13,5 miliar. Adapun nama-nama jaksa yang menyidik kasus kelima petinggi BI di Kejakgung adalah:

a. Kasus Soedradjad Djiwandono: YW Mere, Chairul Amir, Enriana Fahruddin, Andi M Iqbal, dan Robert Pelealu. Soedradjad diberi SP3.

b. Kasus Iwan R Prawiranata: YM. Mere, Baringin Sianturi. Iwan juga diberi SP3.

c. Kasus Heru Soepraptomo: Baringin Sianturi, Firdaus Dewilmar, Ramdanu Dwiyanto, Tony Sinay. Heru divonis satu setengah tahun.

d. Kasus Hendrobudiyanto: FX Soehartono, Yudi Hardono, Arnold Angkow, Widadi. Hendro divonis satu setengah tahun.

e. Kasus Paul Sutopo: Heru Chairuddin, Sunarta. Ali Mukartono. Paul divonis satu setengah tahun.

3. Kepala Kejari Jakarta Pusat. Saat diperiksa KPK, Iwan R Prawiranata menyatakan memberi uang Rp 900 ribu dolar AS atau Rp 8,28 miliar (dengan kurs Rp 9.200 per dolar AS) kepada Kepala Kejari Jakarta Pusat, Salman Riyadi.

Sumber: Harian Republika Edisi Kamis 14 Agustus 2008 hal. 1
http://rumahkataku.com/?p=92

Rabu, 03 September 2008

PENGADILAN PAJAK BUKA LOWONGAN HAKIM



Rabu, 03 September 2008 10:54

Departemen Keuangan membuka lowongan penerimaan hakim pengadilan pajak tahun anggaran 2008 untuk mengisi kebutuhan hakim pada Pengadilan Pajak.

Sekjen Depkeu Mulia Nasution selaku Ketua Panitia Penerimaan Hakim Pengadilan Pajak dalam Pengumumannya yang diterima di Jakarta, Rabu, menyebutkan, persyaratan yang harus dipenuhi peminat antara lain umur minimal 45 tahun per 1 September 2008, berijazah sarjana, memiliki keahlian bidang perpajakan dan/atau kepabeanan.

Peluang terbuka bagi yang pernah/atau masih menduduki jabatan eselon I dan II,berusia maksimal 60 tahun per 1 September 2008, bagi yang pernah menduduki jabatan eselon III berusia maksimal 58 tahun per 1 September 2008 dengan golongan minimal IV/b.

Kesempatan juga terbuka bagi yang menduduki jabatan fungsional pemeriksa, penilai dan widyaiswara (di bidang perpajakan dan kepabeanan) berusia maksimal 58 tahun per 1 September 2008 dengan golongan minimal IV/c.

Mereka yang berminat agar menyampaikan berkas lamaran melalui pos tercatat dalam amplop tertutup yang antara lain berisi surat lamaran ditulis dengan tangan sendiri yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, daftar riwayat hidup, dan fotokopi ijazah asli Sarjana (S1), Pasca Sarjana (S2), Doktor (S3) yang telah dilegalisasi.

Berkas lamaran dikirimkan kepada Kepala Biro Sumber Daya Manusia selaku Sekretaris I Panitia Penerimaan Hakim Pengadilan Pajak, Kotak Pos 3013 JKP 10030, dan diterima paling lambat tanggal 22 September 2008 (cap pos).

Penyampaian secara langsung tidak diperkenankan.

Bagi pelamar yang memenuhi persyaratan administrasi akan diberikan surat panggilan dan Tanda Peserta Ujian (TPU), termasuk di dalamnya tercantum waktu dan tempat ujian.

Ujian akan dilaksanakan secara bertahap dengan sistem semi gugur yang meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), psikotes, wawancara, dan tes kesehatan.

Bagi mereka yang pernah mengajukan lamaran untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak sebelum pengumuman ini diminta untuk mengajukan kembali sesuai persyaratan administrasi yang ditentukan. (*/bee)

http://www.kapanlagi.com/h/0000248598.html

MENGUBAH KARAKTER PEREMPUAN ACEH



HUJAN baru saja membasahi Kota Lhokseumawe, sore itu, hari Kamis di bulan April. Cut Eldinayanti (foto) tampak sibuk di kantornya di Jalan Listrik No. 26 Pasar Inpres Lhokseumawe, tepat di depan Rumah Sakit Askes kota petro dollar itu. “Sudah sepuluh bulan ini kami berusaha membantu kaum perempuan untuk peningkatan ekonominya,” ujar Cut Eldinayanti lembut.

Menekuni kegiatan di bidang ekonomi mikro bukanlah hal mudah baginya. Dia alumni Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, tahun 2002 silam. Kini dia menjabar sebagai general manager Baitul Qiraqh (BQ) Afdhal.

Terjun di dunia bisnis khususnya ekonomi mikro menjadi tantangan baru baginya. Baru-baru ini dia mengunjungi Myanmar dan Turki untuk studi banding pengembangan ekonomi mikro di sana. Dari situ, semangatnya muncul. Dia prihatin akan kondisi perekonomian masyarakat Lhokseumawe dan Aceh Utara.


“Dari sana pikiran saya terbuka. Myanmar dengan Indonesia itu sama-sama negara miskin. Kok mereka bisa mengembangkan ekonomi mikro bahkan nasabahnya sampai 15.000 orang lebih,” sebutnya pada PinbisMedia.

Di sini pula dia berpikir keras untuk kemajuan perempuan Aceh. Uniknya, pinjaman yang diberikan lembaganya itu tidak mengharuskan jaminan kepada calon nasabah. Berbeda jauh dengan pinjaman bank komersil. Dia sadar benar, pinjaman tanpa agunan sangat beresiko tinggi. “Resiko tidak dikembalikan memang ya, kita tahu itu. Tapi, kita buat prosesnya sampai kita benar-benar yakin bahwa nasabah kita ini orang jujur,” sebut anak pertama dari tujuh bersaudara itu.


Cut bekerja keras untuk membantu enam orang adik-adiknya. Selain itu, dia juga bekerja keras untuk mengembangkan lembaga yang dipimpinnya itu.

Pola yang digunakan terbilang mudah. Mereka datang mengunjungi calon nasabah di kampung-kampung. Lalu menyarankan nasabah yang tertarik dengan pinjaman lembaganya untuk membuat kelompok. “Kita gunakan analisa kredit. Kita berikan masyarakat bebas memilih kelompoknya sendiri,” sebut wanita kelahitan 1977 silam.


Cut-panggilan akrab Cut Eldinayanti--mengaku sulit mengubah karakter masyarakat Aceh. Karakter untuk mengembalikan pinjaman. “Pernah saya berpikir, saya ini orang bodoh yang bekerja mengubah karakter dan menyakinkan orang untuk mengembalikan pinjaman. Tapi, saya terus usaha. Saya ingin memberikan bantuan modal untuk mereka. Meningkatkan kemampuan ekonominya,” sebutnya.


Kini, setelah sepuluh bulan menekuni bisnis di lembaga syariah itu, Cut telah memiliki 1.800 orang nasabah. Dia juga telah membuka cabang di Kabupaten Bireuen, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. Dalam waktu dekat ini dia merencanakan membuka cabang di Kabupaten Bener Meriah dan Kota Lhoksukon. “Saya yakin benar bisnis ini bisa jalan. Buktinya, sampai sekarang nasabah kita bertambah dan tingkat pengembalian kredit sampai 99 persen,” ujar gadis berkacama itu.


BQ Afdhal mematok nasabah khusus perempuan. Menurut Cut, tujuannya tak lain karena perempuan lebih giat bekerja dan jujur mengembalikan pinjaman dari pihaknya. Umumnya, lembaga yang dipimpinnya itu memang didominasi kaum hawa. Di kantornya terlihat wanita lebih dominan ketimbang pria.

Akhir tahun mendatang, Cut menargetkan lembaganya memiliki nasabah sebanyak 10.000 orang. Dia terus mengembangkan modal awal yang dimilikinya sebanyak Rp50 juta. “Saya harap usaha ini berkembang. Dan, perempuan Aceh lebih mandiri lagi,” harapnya. Masriadi Sambo

http://dimassambo.multiply.com/journal/item/7/_MENGUBAH_KARAKTER_PEREMPUAN_ACEH

PEMBUNUHAN DAN KESESATAN PENGADILAN

Saifuddin Bantasyam, Dosen FH Unsyiah, program studi hukum dan Hak Asasi Manusia

Errare Humanum Est––khilaf adalah insaniah. Manusia bukan saja tak luput dari kekhilafan dan kekeliruan, melainkan justru merupakan sumber kedua sifat itu. Tetapi apabila instansi yang bertanggungjawab atas keadilan menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak bersalah, maka instansi itu telah melakukan pembunuhan, baik berupa pembunuhan jiwa maupun pencemaran nama baik. Atau bahkan berupa peruntuhan sukses dan kebahagiaan seseorang beserta kaum kerabatnya.

Di Inggris, seorang ayah dihukum gantung, dipersalah memperkosa dan membunuh anaknya. Segala upaya sang ayah membebaskan diri dari tuduhan, tak berhasil sama sekali. Semua kepingan fakta menyudutkannya, termasuk media dan masyarakat Inggris. Sepuluh tahun setelah eksekusi gantung itu, seorang pemerkosa dan perampok yang akan menaiki tiang gantungan mengakui dialah yang memperkosa dan membunuh anak gadis tadi. Bagaimana bisa?Perampok itu meninggalkan dengan sengaja barang-barang kepunyaan sang ayah yang dicurinya didekat mayat gadis itu, agar ayah gadis itulah yang kena getahnya. Dalam kesaksiannya di depan hakim, ia berhasil menyudutkan ayah sang gadis. Namun sesaat sebelum menghadap Tuhan, ia merasa sangat menyesal dan ingin menebus keburukannya, kendati pun sudah terlambat.
Ketika berstatus mahasiswa dulu, Tahun 1984, saya membaca berulang-ulang buku karangan Hermann Mostar (diterjemahkan oleh Graifit Pers tahun 1983) berjudul Peradilan Sesat. Buku itu mendokumentasikan 13 kasus atau kejadian yang disebutnya dengan pembunuhan peradilan di beberapa negara di Eropa, di abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20, yang masing-masing terjadi karena satu atau lebih kesalahan-kesalahan pada setiap proses hukum yang berakhir dengan pemidanaan.

Kasus Imam Hambali dan David

Tersingkap berita kasus salah tangkap dan salah hukum atas diri Imam Hambali (Kemat) dan Devid Eko Priyanto beberapa hari lalu, sekedar untuk membandingkan kejadian di Eropa dengan Indonesia. Kedua orang itu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jombang Jawa Timur, masing-masing dihukum 17 dan 12 tahun penjara pada Mai lalu karena bersalah membunuh tetangga mereka, Asrori. Mayat Asrori ditemukan dalam kondisi rusak di kebun tebu tahun 2007. Selama penyidikan polisi, penuntutan jaksa, dan persidangan oleh hakim, temuan mayat itu digunakan sebagai pembuktian.

Setelah hakim menghukum mereka, diketahuilah bahwa mayat di kebun itu ternyata bukan Asrori sebab Asrori yang asli dibunuh oleh Ryan, tersangka pembunuhan berantai asal Jombang, yang mayatnya ditemukan di rumah Ryan bersama dengan beberapa mayat tersangka lainnya. Kesimpulan itu tak hanya didasarkan pengakuan Ryan, melainkan juga didasarkan pada uji DNA pada kedua orangtua Asrori (yang dibunuh Ryan). Polisi mengakui ceroboh dalam menangani kasus ini.

Di Indonesia, dulu ada kasus Sengkon dan Karta tahun 1977, yang dihukum oleh Pengadilan Negeri Bekasi Jawa Barat atas dasar hanya karena sentimen dan prasangka. Kedua orang itu memang disebut memiliki masa lampau yang kurang baik, dan masyarakat yang sudah diselimuti oleh prasangka membebankan dosa atas perampokan dan pembunuhan seorang warga bernama Sulaiman kepada mereka. Para saksi yang berprasangka telah menyudutkan Sengkon dan Karta, dan hakim menjadi korban sugesti saksi-saksi dan menghukum keduanya dengan hukuman seumur hidup.

Tiba-tiba muncul Gunel, yang bercerita kepada kerabat Sengkon dan Karta bahwa dirinya-lah yang membunuh Sulaiman. Gunel tak tega melihat nasib kedua pesakitan itu, dihukum tanpa melakukan kesalahan. Gunel ingin menebus perasaan berdosanya. Perkara Sengkon dan Karta itu dilakukan peninjauan kembali, keduanya dibebaskan, meskipun tidak mendapat ganti rugi apapun karena sistem yang berlaku saat itu.

Kasus lain di Bekasi, di mana Budi Sarjono juga menjadi korban salah tangkap oleh polisi dan ditahan pada Tahun 2002. Budi dituduh membunuh ayahnya dan menganiaya ibu kandungnya. Awalnya Budi diperiksa sebagai saksi dan menyatakan bahwa dia menyaksikan sendiri bahwa yang bunuh dan menyiksa orang tuanya adalah orang bernama Marsin. Tetapi polisi tak percaya dan mengiming-iming seorang saksi dengan uang untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Budi. Budi bernasib baik, diputus bebas murni oleh PN Bekasi pada tahun 2003. Pada Juli 2006, polisi mendatangi Budi dan mengatakan bahwa Marsin yang membunuh ayahnya sudah ditangkap. Budi tak pernah mendapatkan keadilan sedikit pun atas penahanan dan salah tangkap yang dialaminya.

Keadilan bukan statistik

Dalam kasus Kemat dan Devis, polisi mengatakan kasus itu dalam satu sistem, berkas sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa. Pihak Kejaksaan Agung kemudian membuat pernyataan di media massa bahwa pihaknya bekerja atas dasar bukti-bukti yang disodorkan polisi. Sedangkan Ketua Majelis Hakim mengatakan bahwa mereka telah bertindak benar, apalagi kesimpulan polisi bahwa mayat di kebun tebu pada 29 September 2007 adalah Asrori, juga berdasarkan keterangan keluarga korban.

Ketiga institusi itu tidak boleh bersikap eskapis dan saling menyalahkan, atau menegasikan sedemikian rupa kasus tersebut dengan mengatakan bahwa diantara puluhan ribu kasus yang sudah diadili dan diputuskan, maka kesalahan hanya terjadi dalam beberapa kasus saja. Atau kejadian itu dianggap wajar-wajar saja karena polisi, jaksa dan hakim adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Atau menjustifikasikan kesalahan seperti tuturan dalam bahasa Aceh, pat ranum yang hana mirah, pat peunarah yang hana bajoe, pat ureung yang hana salah, hana aweue na bak dudoeu.

Kita ingin mengatakan; piyoh, Teungku! Sebab kita sedang bicara tentang keadilan. Pokok masalah bukan pada data statistik, banyak atau sedikit, melainkan pada apakah setiap kasus atau perkara itu ditangani dengan adil atau tidak. Sedemikian penting keadilan itu, maka jika tertunda pun, maka keadilan tidak lagi bermakna (justice delay, justice deny), apalagi jika kemudian tidak ada keadilan sama sekali. Itulah sebabnya sering dikatakan lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Keadilan itu sungguh mahal. Dalam hukum acara peninggalan Belanda, yang dicari adalah pengakuan tersangka, bukan keterangan tersangka. Karena itu, tersangka sering disiksa untuk mengaku. Kepada media massa Devid mengatakan bahwa dirinya disiksa oleh polisi untuk mengaku. Budi pun mengatakan dirinya juga diperlakukan kasar oleh polisi. Ini artinya ada aparat penegak hukum yang masih memakai cara-cara lama, yang melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan (yang sudah diratifikasi oleh Indonesia). Dulu, tidak ada teknologi tes DNA untuk membantu keakurasian hasil pemeriksaan mayat, tetapi ketika teknologi itu ada, ada aparat yang merasa cukup bekerja dengan indera semata.

Beberapa hal perlu ditekankan, pertama, penegakan keadilan memerlukan (isi) hukum yang baik, tetapi hukum yang baik memerlukan juga orang yang baik, dengan integritas moral yang tinggi, serta pengetahuan dan keahlian serta pengalaman yang luas dan memadai. Sebab orang-orang yang demikian normalnya akan mengakui kekurangan dan kesalahan, dan mau mengoreksi kekurangan dan kesalahan itu, serta mau belajar tentang pengetahuan dan keahlian yang baru. Dengan ilmu dan keahlian, mereka menekuni pekerjaannya seacara profesional, termasuk menggunakan teknologi andal untuk menemukan keadilan yang dicari oleh negara dan rakyatnya.

Kedua, republik ini perlu berkaca pada kasus-kasus salah tangkap atau pembunuhan dan kesesatan peradilan. Pada tingkat teknis, profesionalitas sumberdaya manusia perlu dilengkapi dengan teknologi-teknologi maju untuk memudahkan pembuktian. Tetapi teknologi tetap tergantung kepada penggunanya, the man behind the gun.

Ketiga, hukuman mati adalah hukuman yang tak bisa dikoreksi. Sekali dieksekusi, kemudian mati. Sudah saatnya negeri ini memikirkan ulang penjatuhan hukuman mati ini, khususnya di tengah keadaan tidak adanya keterandalan aparat dalam bekerja. Bayangkan jika dulu Sengkon dan Karta, Kemat dan Devid, serta Budi Sarjono dikenakan hukuman mati dan sudah dieksekusi, kemudian pelaku kejahatan yang sebenarnya datang membuat pengakuan atau ditangkap polisi.

Keempat, negara berkewajiban untuk memfasilitasi mereka dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan yang mereka cari. Di atas dinukilkan Errare Humanum Est––khilaf adalah insaniah.Tetapi polisi yang salah tangkap dan tidak melalukan tes DNA, jaksa dan hakim yang tidak teliti, tidak semata-mata dapat dimaafkan karena atas dasar khilaf adalah manusiawi. Hukum harus berlaku sama atas semua orang; jika rakyat jelata bisa diadili karena salah dan khilaf, maka demikian juga harus berlaku kepada aparat penegak hukum dan keadilan, apapun jabatan dan pangkat mereka. Rakyat menunggu, termasuk menunggu siapa sesungguhnya “Asrosi” di kebun tebu itu dan siapa pembunuhnya.***

www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1778