Kamis, 28 Agustus 2008

KEPAK SAYAP PATAH

Para mahasiswa korban tsunami di Aceh mulai kuliah. Kendati uang kuliah dibebaskan, mereka harus belajar mandiri.

TAK ada yang istimewa dalam kertas formulir itu. Setiap hendak mendaftar ulang, Hendra, 22 tahun, selalu bisa mengisinya dengan gampang. Tapi kali ini ia tercenung ketika harus mengisi alamat, nama ayah, nama ibu, dan deretan biodata lainnya. Hal yang ditanyakan kini sudah tak lagi dimilikinya. Ayah, ibu, serta dua adiknya telah pergi ditelan gelombang tsunami 26 Desember lalu. Ia pun belum memiliki alamat yang tetap karena rumahnya di Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, sudah lenyap.

Kegalauan itu muncul saat Hendra berada di halaman gedung Rektorat Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, Kamis dua pekan lalu. Bersama ratusan mahasiswa lainnya, ia sedang antre untuk melakukan pendaftaran ulang karena perkuliahan di kampus ini akan segera dimulai. "Saya kini memang sebatang kara dan tak punya apa-apa. Tapi saya ingin tetap kuliah," kata mahasiswa semester V Fakultas Hukum itu kepada Tempo.

Hendra siang itu mengenakan kaus oblong warna kuning dan celana jins. Sebuah ransel terletak di sampingnya. "Inilah baju-baju saya," katanya seraya menunjuk ranselnya. Menurut dia, ransel itu hanya berisi beberapa helai pakaian bekas yang didapatnya dari sumbangan. Dengan tas punggung Hendra leluasa bergerak. Bila malam tiba, dia bisa tidur di mana pun, di masjid, di kampus, atau lebih sering bersama beberapa mahasiswa lain di tenda pengungsian yang didirikan di sekitar kampus.

Tsunami telah mengubah hidup pemuda Ulee Lheu itu. Meski hanya seorang tukang bangunan, ayahnya dulu mampu mencukupi kehidupan keluarganya. Biaya kuliah Hendra juga selalu terpenuhi. Dia pun mendapat uang jajan Rp 5.000 per hari. Tak besar, memang, tapi dia merasa cukup. "Karena kalau makan saya pulang ke rumah," katanya. Kini semua itu tak ada lagi. Sebenarnya dia memiliki paman di Lampeunerut, Banda Aceh, yang bersedia menampungnya. Namun, dia tak tega memberatkan pamannya yang keadaannya juga tak kalah susah.

Ada sekitar 1.000 mahasiswa Unsyiah yang senasib dengan Hendra, kehilangan keluarga saat tsunami meluluhlantakkan Aceh. Beban mereka sedikit lebih ringan telah universitas membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa yang berjumlah sekitar 23 ribu. Kebijakan ini diambil setelah mahasiswa demonstrasi pada pertengahan Februari lalu. Pem-bantu Rektor I Unsyiah, Darni M. Daud, mengatakan, dibutuhkan dana sekitar Rp 6 miliar untuk melaksanakan ketentuan itu.

Kini, Unsyiah juga berusaha mencari donatur untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kehilangan orang tuanya. Sejauh ini, bantuan yang diperoleh baru datang dari Turki berupa pembangunan tempat relokasi bagi mahasiswa, dosen, dan karyawan yang kehilangan rumah. "Sekarang sedang dikerjakan, mungkin sebulan lagi akan bisa ditempati untuk menampung 1.200 orang," kata Darni.

Kampus yang berdiri sejak 2 September 1961 itu porak-poranda begitu gempa datang. Beberapa gedung retak dan 102 peralatan laboratorium rusak. Gelombang tsunami yang menyusul kemudian menyebabkan kampus ini kehilangan 108 dari 1.397 dosen dan 102 dari 600 karyawannya. Semua masalah ini mesti diatasi oleh pimpinan Unsyiah agar kegiatan kuliah bisa berjalan.

Hendra sendiri sudah bersyukur atas kebijakan pembebasan uang kuliah. Buat biaya hidup sehari-hari? Ia bertekad akan memenuhinya sendiri. "Saya akan berusaha bekerja sambil kuliah," katanya.

Dia rupanya memegang teguh pesan ayahnya. Pesan itu disampaikan sang ayah beberapa hari sebelum tsunami menerjang. Saat itu ayahnya menelepon Hendra yang sedang mengikuti rapat koordinasi nasional Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia di Jakarta. Dalam percakapan telepon itulah, yang ternyata jadi komunikasi terakhir mereka, ayahnya mengungkapkan keinginan agar Hendra segera menyelesaikan kuliahnya.

Tekad serupa juga ditunjukkan Andi Darmadi, 23 tahun. Mahasiswa Fakultas Teknik, Unsyiah, kini juga menjadi sebatang kara karena seluruh keluarganya direnggut tsunami. Dia pun tidak memiliki rumah lagi. Untuk menyambung hidup, Andi pernah bekerja pada organisasi relawan sebagai pemasok data. "Tapi bayarannya kecil, untuk membeli satu pasang pakaian saja habis," katanya. Untuk mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan, diakuinya cukup sulit. Kendati begitu, dia tak putus asa. "Yang penting bisa makan dulu. Kalau masih hidup pasti ada jalan," katanya.

Andi kini tinggal di tenda darurat yang dibangun mahasiswa Fakultas Teknik di depan kampus. Dia senang karena uang kuliah dibebaskan. Kalaupun nanti dipungut lagi, dia yakin akan menemukan jalan. "Jalannya apa, saat ini saya belum memikirkannya. Itu masih terlalu jauh. Saat ini kami hanya bisa berpikir jam per jam, hari per hari, bukan tahun per tahun," katanya.

Di kampus yang bertetangga dengan Unsyiah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, sosok serupa Hendra dan Andi juga gampang ditemukan.

Kondisi kampus ini lebih parah. Setelah tsunami datang, seluruh bangunan kampus terendam air sehingga 50 persen buku dan arsip hilang. Bahkan arsip mahasiswa dan arsip para alumni yang tersimpan di lantai satu semuanya raib. Kampus ini juga kehilangan 42 dari 270 dosennya.

Karena tsunami, ada sekitar 83 orang mahasiswa yang kehilangan orang tuanya di kampus IAIN. Ratusan mahasiswa kehilangan tempat tinggal. Untuk membantu mereka, pihak Institut telah membebaskan uang kuliah. Buat menampung mereka juga telah dibangun tenda-tenda darurat di lingkungan kampus, juga mengoptimalkan daya tampung asrama mahasiswa dan asrama Pascasarjana.

Tarmizi, 25 tahun, adalah salah satu mahasiswa yang menggunakan fasilitas tenda darurat itu. Mahasiswa semester akhir Fakultas Tarbiyah ini telah kehilangan kedua orang tuanya di Desa Suak Busoe, Kecamatan Arongan Meulaboh, Aceh Barat. Dia kini tak hanya harus memikirkan dirinya sendiri, tapi juga adiknya, Salmiati, yang juga jadi mahasiswi di tempat yang sama.

Bersama rekan-rekannya, Tarmizi pernah bekerja membersihkan kampus IAIN. Upahnya lumayan, Rp 30 ribu per hari. Tapi kerja itu hanya sementara. Kini mencari pekerjaan yang lain susah sehingga ia memilih membenamkan diri dalam aktivitas kampus, termasuk membantu pendataan rekan-rekan mahasiswa. Kendati tak punya apa-apa lagi, Tarmizi punya tekad kuat untuk meneruskan hidup. "Saya ingin cepat lulus dan mencari kerja untuk membantu adik saya," kata Ketua BEM Fakultas Tarbiyah ini.

Nurasiah, 19 tahun, mahasiswa semester I Fakultas Tarbiyah, tak seyakin itu. Bagai burung yang sayapnya telah patah, ia kini didera kebingungan. Tsunami telah merenggut ibu kandungnya dan mengambil rumah serta usaha peternakan ayam mereka yang terletak di Desa Alue Naga, Syiah Kuala, Banda Aceh. Kini bersama ayahnya, Abubakar, yang selamat, dia mengungsi di masjid kampus IAIN. Dia ragu apakah masih bisa melanjutkan kuliah. Ayahnya sudah 70 tahun dan tak mungkin lagi menyokong biaya kuliahnya. Justru dia kini yang merasa berkewajiban mengurus ayahnya.

Yang membuatnya bingung adalah adanya rencana memindahkan lokasi pengungsi yang kini ditempatinya ke barak di daerah Lambaro, Aceh Besar. "Kalau ayah dipindahkan, saya juga harus ikut untuk merawatnya. Tapi, terus terang, saya juga ingin menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana," katanya.

Nurdin, Adi Warsidi (TEMPO, http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2005/02/28/PDK/mbm.20050228.PDK106314.id.html)

Tidak ada komentar: