( Pendekatan Adat Sebagai Aspek Kearifan Lokal )
Oleh : H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum
Sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) penuh dengan fluktuasi pasang surut. Pernah hebat dan jaya masa dulu, menjadi catatan sebagai daerah modal republik, masyhur sebagai Serambi Mekkah, namun terakhir populer dengan sebutan daerah DOM (Daerah Operasi Militer). Berbagai status lainnya pernah pula di sandangkan untuk Aceh: Darurat Militer, Darurat Sipil, dan kini sedang nyaman pula sebagai kawasan Damai paska MoU Helsinki
Variabel penyebab lahirnya nama-nama itu, tak mungkin kita serahkan semata-mata karena takdir, sebab realitasnya cukup jelas, betapa peran tangan-tangan manusia telah mengubah peta kehidupan masyarakat Aceh menjadi bahagian dari permasalahan HAM, yang mendunia pada masa kini. Mari kenangan manis masa dulu, kita standarkan dan kenangan pahit masa kini, selayaknya kita tuntaskan.
Peristiwa-peristiwa itu, sejak berlakunya operasi militer di Aceh tahun 1990, telah meninggalkan titik-titik noda sejarah, berupa pembunuhan, penculikan, penganiayaan, pelecehan seksual dan kerugian harta benda. Ribuan manusia menderita (meninggalkan ahliwaris janda, anak yatim/piatu, penyandang cacat fisik/ non fisik, kehilangan tempat tinggal, putus sekolah, miskin-papa, dan lain-lain). Semua tindakan itu dipandang sebagai delik/pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu harus dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum, manusia, dan di hadapan Allah SWT.
Alhamdulillah peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM itu tidak berlanjut, karena atas kasih sayang Allah SWT, telah menurunkan rahmat “Anugerah Perdamaian” kepada masyarakat Aceh secara keseluruhan, dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005.
Lahirnya naskah MoU-Helsinki, tidak otomatis telah menyelesaikan kompleksitas masalah di Aceh, melainkan hanya telah dapat menghentikan permusuhan/peperangan dan membuka jalan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kontroversial selama ini. Persoalan-persoalan besar antara lain menyangkut dengan pelanggaran HAM, yang menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia dengan segala elemen terkait lain untuk menuntaskannya, sebagaimana tercantum dalam point MoU, sebagai berikut:
Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya Rekonsiliasi (Seri Dinas Infokom Aceh, Naskah MoU: 2005)
Persoalan Pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, pada dasarnya telah menodai dan melukai konstruksi sistem equilibrium tatanan kehidupan kultur paguyuban adat Aceh. Kondisi ini, harus dirajut dan direkat kembali melalui nilai-nilai adat Aceh, peninggalan indatu yang masih relevan dengan kehidupan sekarang ini, baik bersifat preventif maupun represif, antara lain:
Nilai-nilai preventif :
“ Beik ta meuprang sabei keudroe-droe, hancoe nanggroe reuloh bangsa”
“Malei kaom, meungnyoe meupakei, habeih crei-brei bandum syeedara”
“Meulawan hukom, raya akibat, meulawan adat malei bak donya”
“Ta peuturot nafsu, malei pih tanlee, peu turot hatei nyawong teuhila“
Dari narit maja diatas dapat dipahami, bahwa kultur Aceh sangat antisipatif terhadap konflik, bahkan nilai-nilai preventif selalu dikedepankan. Namun kalau sudah mengganggu harkat dan martabatnya, maka nilai-nilai represif mengemuka maju kedepan
Nilai-nilai represif antara lain :
” Dong bak kong, hana ku turie saboh, sigoe ku teubit, sigoe ku matei ”
” Nibak malee, geit ta lop lam tanoh crah, nibak singeit geit bah roe ”
Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada ”dendam”, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). Masyarakat mengenal ”asas tungbeela” yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/beela droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan ”DAMAI” sangat dominan dalam kehidupan masyarakat. Biasanya ini menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).
Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin/dimodernisasi oleh ”Ureung-ureung patot/Ureung Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu Uleebalang, Ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya). Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur, berantakan selama ini, menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan..
Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut:
” Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”
” Masalah nyang rayeuk ta peu ubit
Nyang ubit ta peu gadoh ”
” Beu lee saba...,
Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,
Mak got nanggroe makmue beurata”
” Tajak ba troek, ta eu bak deuh,
Beik rugoe meuh sakeit hatee ”
”Damai” dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh Al-Qur’an, yang dikenalnya sejak kecil, di rumah, rangkang dan Meunasah, lebih-lebih bulan Ramadhan, sehingga menjadi satu kekuatan penunjang hidupnya.
Menyangkut “Budaya Damai”, nilai-nilai Qur’ani mengajarkan, antara lain :
• Manusia berada dalam kelemahan dan kehinaan, (dimana, kapan dan dalam keadaan apapun ), kecuali manusia-manusia yang menegakkan hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan menegakkan hubungan dengan manusia (hablum minannas) sesuai dengan penjelasan dalam Al-Quran, Ali Imran: 112
• Orang mukmin sesama mukmin bersaudara, maka berbaik-baiklah antara sesamanya (Q, al-Hujurat : 10)
• Muslim sesama muslim sebagai bangunan yang satu dengan yang lainnya saling mengikat (hadist)
• Tidak sempurna iman seseorang, apabila tidak menyayangi saudaranya sebagaimana (ia) sayang kepada dirinya (hadist)
Nilai-nilai Qur’ani itu telah menjiwai masyarakat, melahirkan kultur nilai-nilai primer yang mempengaruhi pola pikir dan hati nuraninya dalam menjalankan kebijakan dan tindakan prilakunya, berhadapan dengan lingkungan. Nilai-nilai primer itu, antara lain :
Istiqamah (komit) dengan aqidah Islami (Hablum minallah)
Pemaaf, membangun persaudaraan (Hablum minannas)
Universal (tidak ada gap: antar agama, antar suku, antar bangsa)
Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
Panut kepada imam (pemimpin)
Cerdas dengan ilmu dan kearifan
Gambaran singkat tersebut diatas tentang norma-norma, kultur nilai dan peran struktur kelembagaan adat Aceh, dengan ”institusi damai” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, maka penyelesaian Pelanggaran HAM di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui pendekatan kultural adat Aceh. Dari aspek hukum dan perundang-undangan (Undang-undang.Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) telah memberi isyarat, bahkan membuka peluang untuk menempuh penyelesaian damai. Hal itu dapat diperhatikan:
1. U.U.No: 26 Tahun 2000, pasal 47 ayat (1) menegaskan : Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
2. U.U.No:27 Tahun 2004, pasal:
a. pasal 1 angka 2: Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan, melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa
b. pasal 28 ayat (1) dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000, tentang pengadilan hak asasi manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk memberikan amnesti
1. Dalam penyelenggaraan ”Damai” adat, ada dua mekanisme yang perlu dilalui, yaitu:
a. Pertama: Prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum ”Adat Meusapat”, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran HAM, dengan menggunakan asas ”luka tasipat, darah ta sukat” (Kompensasi/Kerugian). ”But nyan geit peureulee beu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka”
b. Kedua: Prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara : Peusijuk, bermaafan, Sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a
2. Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) Mencatat: bahwa bangun (dhiyat – dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar “bangun yang mati” kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Isa Sulaiman, 2002:121)
3. Pelaksanaan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, suatu model, puncak penyelesaian adat (damai) berkaitan dengan peristiwa DI/TII dengan Pemerintah RI, dilaksanakan pada tanggal 18–21 Desember 1962 di Blang Padang Banda Aceh. Penyelesaian Musyawarah Kerukunan itu, dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan (sipil) dan militer di daerah, beserta utusan Pemerintah Pusat yang di tujukan untuk menyelesaikan segala masalah yang selama 10 tahun terakhir yang mengganggu pengembangan dan pertumbuhan Aceh di segala bidang, dianggap terkubur habis (A. Hasjmy, dkk, 1995:192)
4. Piagam Blang Padang, Kerukunan Rakyat Aceh: Dengan kurnia Allah Yang Maha Esa, pada hari yang berbahagia ini, kami rakyat Aceh, dengan penuh khidmat dan dengan hati nurani yang putih bersih serta ikhlas, telah bulat meupakat, memelihara dan memupuk kerukunan yang bersinarkan persatuan dan silaturrahim yang abadi, sehingga merupakan kekuatan batin dan penggerak pembinaan generasi Aceh turun temurun, dalam rangka pembangunan bangsa Indonesia yang besar, dijiwai proklamasi 17 Agustus 1945 menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Semoga Allah memberkati kita.
Aceh Darussalam 21 Desember 1962/24 Rajab 1382.
Atas nama Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Dewan Pimpinan : Ketua Umum, ttd M. Jasin (Kol.Inf.Nrp.10023),
Ketua I, ttd A. Hasjmy (Gubernur),
Ketua II, ttd Nyak Adam Kamil (Let.Kol Inf.Nrp.12081)
(Isa Sulaiman, 1997:521 )
5. Banyak kasus-kasus pidana lainnya dalam masyarakat yang diselesaikan secara adat, melalui Lembaga Adat Gampong/Mukim atau lembaga-lembaga adat lainnya, dengan kompensasi diyat/sayam/suloh.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hasjmy, dkk, 50 Tahun Aceh Membangun, Penerbit, MUI Prov.NAD, 1995, Cetakan Pertama, Bali-Medan
Isa Sulaiman, M, Dr, dan Syamsuddin MS, (2002), Pedoman Adat Aceh:
Peradilan dan Hukum Adat, Penerbit LAKA Prov. NAD, 2002, Edisi II.
------------------------, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, 1997, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nota Kesepahaman (MoU), antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Helsinki Finlandia, 15 Agustus 2005
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Disampaikan pada Workshop Strategic Planning Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu di Aceh, di selenggarakan di Sabang tanggal 22 – 23 Mei 2006 oleh Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI)
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Sumber: http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar