Kamis, 28 Agustus 2008

MENYUSUN ANGGARAN DENGAN MATAHATI

[ penulis: Saifuddin Bantasyam | Dosen Fakultas Hukum Unsyiah]

Dua bulan ini, media menyorot tentang proses penyusunan anggaran oleh eksekutif dan PPAS (pembahasan prioritas dan flafon anggaran sementara) oleh legislatif, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kapupaten/kota. Proses ini nantinya berakhir dengan pengajuan rencana kerja dan anggaran sebagai dasar penyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD, atau APBA untuk Aceh).

Secara umum terlambat mengajukan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), PPAS, RKA dan RAPBA/RAPBK ke legislatif. Keterlambatan pihak eksekutif antara lain karena pemerintah sedang dalam transisi dengan menata diri pascapilkada. Juga karena penyusun rancangan dan pengesahan rancangan qanun tentang keuangan Aceh. Legislatif pun tidak mau disalahkan. Mereka mengibaratkan diri sebagai juru masak, mana mungkin bisa mengadon masakan kalau bahan mentahnya tak tersedia. Artinya, legislatif baru bisa bekerja jika eksekutif sudah memasukkan PPAS ke legislatif.

Tapi di luar alasan tersebut, seorang anggota legislatif mengatakan, pihak legislatif sebenarnya juga berpotensi sebagai pihak yang dapat menghambat pengesahan. Sebab legislatif adalah institusi politik yang sulit seratus persen lepas dari kepentingan politik-atasnama kepentingan konstituen - dalam membedah rancangan anggaran yang diajukan eksekutif. Inilah yang menyebabkan misalnya tumbuh-suburnya lobbi-lobbi antara eksekutif dengan legislatif untuk menyetujui mata anggaran tertentu dari SKPD tertentu. Dulu di Aceh, muncul isu anggota legislatif yang jadi calo proyek. Syukurnya isu ini sekarang mulai menghilang.

Kekecewaan publik

Terlambatnya penyusunan dan pembahasan anggaran telah menimbulkan kekecewaan publik. Misal, di Aceh Selatan, warga terpaksa menyegel gedung DPRK, di Banda Aceh DPRK didemo warga karena kecewa atas proses pembahasan anggaran. Di sejumlah forum terungkap rasa penyesalan, karena keterlambatan anggaran dapat berakibat terjadi masalah dalam administrasi keuangan yang berakhir kepada hancurnya prinsip transparansi dan akuntabilitas, mengakibatkan terhambatnya pembangunan.

Seperti diketahui, dari 33 provinsi di Indonesia, Aceh dan DI Yogyakarta, dua provinsi yang sampai dengan pertengahan Maret 2008, belum menyerahkan RAPBD Tahun Anggaran 2008. Keterlambatan ini akan berakhir dengan pengenaan denda, pemotongan 25 persen dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk Aceh.

Wajar kalau publik kecewa. Pertama, anggaran adalah kunci sukses atau gagalnya program-program pembangunan. Kedua, karena menyusun anggaran menjadi salah satu tugas penting pemerintah, baik anggaran untuk kepentingan operasional pemerintahan maupun untuk kepentingan pembangunan.

Masalah anggaran terkait erat dengan sumber pendapatan yang menjadi aktiva pengalokasian suatu anggaran. Maka eksekutif dan legislatif tidak boleh keluar dari bahasan mengenai pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Itu artinya, setiap gangguan dalam penyusunan anggaran, pada akhirnya masyarakat yang akan dirugikan.

Kekecewaan lain penyusunan anggaran belum prorakyat. Dan sebenarnya ini sudah lama yang terus terjadi pada setiap penyusunan anggaran baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Maksudnya,

seharusnya skema anggaran itu lebih banyak untuk belanja publik (untuk pembangunan) daripada anggaran rutin atau pengeluaran harian untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Pengalaman menunjukkan hal ini sering sangat sulit dicapai karena berbagai sebab. Di antaranya, pemahaman pandang eksikutif dan legislatif tentang proyek-proyek staregis yang menguntungkan rakyat, sehingga sering lebih menguntungkan penguasa, dengan perbandingan antara belanja rutin dengan belanja pembangunan menjadi 70:30 atau 60:40.

Misal, ada satu kabupaten yang mengusul anggaran pendidikan sebesar Rp 800 miliar, ternyata pihak legislatif memangkas yang hanya Rp 45 miliar. Di kabupaten lain, eksekutif mengusulkan dana untuk mendirikan maskapai kabupaten, penyediaan pesawat penumpang (seperti Seulawah NAD dulu), yang kemudian diprotes oleh legislatif karena dianggap tidak memberi benefit langsung kepada masyarakat khususnya kelompok miskin. Kasus lain, ada juga alokasi anggaran yang besar untuk pembelian mobil para pejabat, yang lantas dipangkas oleh legislatif karena hanya menghambur-hamburkan duit rakyat. Di tingkat provinsi, PAS anggaran untuk dayah atau pesantren awalnya hanya sekitar Rp 50 milyar, diperbaiki oleh legislatif menjadi sekitar Rp 160 milyar.

Reformasi anggaran

Keterlambatan penyusunan anggaran selain mendapat denda, juga menjadi potensi korupsi kalangan birokrasi. Banyaknya kasus kas bon yang tak bisa dipertanggungjawabkan, malahan minta dihapuskan, sebagai salah satu buah keterlambatan anggaran. Selain itu berakibat rendahnya mutu rekonstruksi fisik, misal karena terlambat tender, sedang tahun anggaran segera berganti. Sisa anggaran yang tak dihabiskan, dan kemudian menjadi dana luncuran di tahun berikutnya, menimbulkan masalah tersendiri menyangkut dengan kapasitas dinas atau badan pemerintahan dalam menjalankan program- program pembangunan.

Merujuk pada keadaan itu, anggaran mutlak harus disusun dengan menggunakan mata dan hati, dengan mantra yang sudah sering didengungkan berupa good governance. Format anggaran mesti disusun berdasarkan kemampuan dan kebutuhan objektif. Jika tidak, akan berakibat pada pemborosan keuangan daerah. Seperti disiarkan media, danya tumpang-tindih anggaran untuk pemberdayaan orang miskin yang diusulkan oleh tiga dinas di jajaran Pemerintahan Aceh. Ternyata belum juga memperhatikan struktur baru lembaga/dinas yang sudah disahkan. Dua hal ini menunjukkan ada persoalan serius, gilirannya berimplikasi negatif kepada masyarakat.

Menyusun anggaran, minimal harus menyentu empat norma. Pertama, transparansi dan akuntabilitas anggaran agar anggaran itu sehat dan rasional, sesuai arah kebijakan umum dan skala prioritas. Kedua, disiplin anggaran. Anggaran dilaksanakan sesuai alokasi kegiatan yang telah direncanakan, sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku sehingga menutup ruang mislokasi anggaran yang berdampak pada kesalahan target dan rancangan yang sudah diagendakan.

Ketiga, keadilan anggaran. Misal, jangan satu sisi pemerintah daerah melakukan inovasi dalam bentuk produk pajak dan retribusi untuk meningkatkan pendapatan daerah, tetapi inovasi itu ditetapkan di luar kewajaran sehingga mengganggu stabilitas ekonomi.

Keempat, efisiensi dan efektifitas anggaran. Dalam konteks ini, pemanfaatan anggaran bertujuan untuk memberikan efek kepada peningkatan kualitas layanan dan kesejahtraan masyarakat secara maksimal. Maka penetapan anggaran harus jelas sasaran, hasil dan manfaat serta indikator kinerja yang ingin dicapai.

Desentralisasi merupakan momentum penting bagi daerah, termasuk dalam penyusunan anggaran. Karenanya kita tak selalu dapat menyalahkan Jakarta (pusat). Maka pemerintah daerah bersama masyarakatnya menjadi faktor penentu. Lewat penyusunan dan pembahasan anggaran, apakah sudah tepat?

Partisipasi masyarakat suatu yang sangat penting. Masyarakatlah yang paling tahu apa kebutuhan ril mereka. Maka musyawarah pembangunan di tingkat desa menjadi sangat strategis dan serius dilakukan. Pemerintah merupakan institusi yang bisa membuat rakyat merasa aman dan nyaman dalam menjalankan kegiatan sosial politik dan ekonomi sehari-hari. Maka UU PA yang sudah disahkan pada tahun 2006, hendaknya menjadi kekuatan untuk bisa menjalankan roda pemerintahan secara efektif melalui penyusunan anggaran yang berkeadilan untuk seluruh rakyat. [SERAMBI, 22/03/2008 08:50 WIB]
SUMBER: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1509

KEPAK SAYAP PATAH

Para mahasiswa korban tsunami di Aceh mulai kuliah. Kendati uang kuliah dibebaskan, mereka harus belajar mandiri.

TAK ada yang istimewa dalam kertas formulir itu. Setiap hendak mendaftar ulang, Hendra, 22 tahun, selalu bisa mengisinya dengan gampang. Tapi kali ini ia tercenung ketika harus mengisi alamat, nama ayah, nama ibu, dan deretan biodata lainnya. Hal yang ditanyakan kini sudah tak lagi dimilikinya. Ayah, ibu, serta dua adiknya telah pergi ditelan gelombang tsunami 26 Desember lalu. Ia pun belum memiliki alamat yang tetap karena rumahnya di Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, sudah lenyap.

Kegalauan itu muncul saat Hendra berada di halaman gedung Rektorat Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, Kamis dua pekan lalu. Bersama ratusan mahasiswa lainnya, ia sedang antre untuk melakukan pendaftaran ulang karena perkuliahan di kampus ini akan segera dimulai. "Saya kini memang sebatang kara dan tak punya apa-apa. Tapi saya ingin tetap kuliah," kata mahasiswa semester V Fakultas Hukum itu kepada Tempo.

Hendra siang itu mengenakan kaus oblong warna kuning dan celana jins. Sebuah ransel terletak di sampingnya. "Inilah baju-baju saya," katanya seraya menunjuk ranselnya. Menurut dia, ransel itu hanya berisi beberapa helai pakaian bekas yang didapatnya dari sumbangan. Dengan tas punggung Hendra leluasa bergerak. Bila malam tiba, dia bisa tidur di mana pun, di masjid, di kampus, atau lebih sering bersama beberapa mahasiswa lain di tenda pengungsian yang didirikan di sekitar kampus.

Tsunami telah mengubah hidup pemuda Ulee Lheu itu. Meski hanya seorang tukang bangunan, ayahnya dulu mampu mencukupi kehidupan keluarganya. Biaya kuliah Hendra juga selalu terpenuhi. Dia pun mendapat uang jajan Rp 5.000 per hari. Tak besar, memang, tapi dia merasa cukup. "Karena kalau makan saya pulang ke rumah," katanya. Kini semua itu tak ada lagi. Sebenarnya dia memiliki paman di Lampeunerut, Banda Aceh, yang bersedia menampungnya. Namun, dia tak tega memberatkan pamannya yang keadaannya juga tak kalah susah.

Ada sekitar 1.000 mahasiswa Unsyiah yang senasib dengan Hendra, kehilangan keluarga saat tsunami meluluhlantakkan Aceh. Beban mereka sedikit lebih ringan telah universitas membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa yang berjumlah sekitar 23 ribu. Kebijakan ini diambil setelah mahasiswa demonstrasi pada pertengahan Februari lalu. Pem-bantu Rektor I Unsyiah, Darni M. Daud, mengatakan, dibutuhkan dana sekitar Rp 6 miliar untuk melaksanakan ketentuan itu.

Kini, Unsyiah juga berusaha mencari donatur untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kehilangan orang tuanya. Sejauh ini, bantuan yang diperoleh baru datang dari Turki berupa pembangunan tempat relokasi bagi mahasiswa, dosen, dan karyawan yang kehilangan rumah. "Sekarang sedang dikerjakan, mungkin sebulan lagi akan bisa ditempati untuk menampung 1.200 orang," kata Darni.

Kampus yang berdiri sejak 2 September 1961 itu porak-poranda begitu gempa datang. Beberapa gedung retak dan 102 peralatan laboratorium rusak. Gelombang tsunami yang menyusul kemudian menyebabkan kampus ini kehilangan 108 dari 1.397 dosen dan 102 dari 600 karyawannya. Semua masalah ini mesti diatasi oleh pimpinan Unsyiah agar kegiatan kuliah bisa berjalan.

Hendra sendiri sudah bersyukur atas kebijakan pembebasan uang kuliah. Buat biaya hidup sehari-hari? Ia bertekad akan memenuhinya sendiri. "Saya akan berusaha bekerja sambil kuliah," katanya.

Dia rupanya memegang teguh pesan ayahnya. Pesan itu disampaikan sang ayah beberapa hari sebelum tsunami menerjang. Saat itu ayahnya menelepon Hendra yang sedang mengikuti rapat koordinasi nasional Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia di Jakarta. Dalam percakapan telepon itulah, yang ternyata jadi komunikasi terakhir mereka, ayahnya mengungkapkan keinginan agar Hendra segera menyelesaikan kuliahnya.

Tekad serupa juga ditunjukkan Andi Darmadi, 23 tahun. Mahasiswa Fakultas Teknik, Unsyiah, kini juga menjadi sebatang kara karena seluruh keluarganya direnggut tsunami. Dia pun tidak memiliki rumah lagi. Untuk menyambung hidup, Andi pernah bekerja pada organisasi relawan sebagai pemasok data. "Tapi bayarannya kecil, untuk membeli satu pasang pakaian saja habis," katanya. Untuk mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan, diakuinya cukup sulit. Kendati begitu, dia tak putus asa. "Yang penting bisa makan dulu. Kalau masih hidup pasti ada jalan," katanya.

Andi kini tinggal di tenda darurat yang dibangun mahasiswa Fakultas Teknik di depan kampus. Dia senang karena uang kuliah dibebaskan. Kalaupun nanti dipungut lagi, dia yakin akan menemukan jalan. "Jalannya apa, saat ini saya belum memikirkannya. Itu masih terlalu jauh. Saat ini kami hanya bisa berpikir jam per jam, hari per hari, bukan tahun per tahun," katanya.

Di kampus yang bertetangga dengan Unsyiah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, sosok serupa Hendra dan Andi juga gampang ditemukan.

Kondisi kampus ini lebih parah. Setelah tsunami datang, seluruh bangunan kampus terendam air sehingga 50 persen buku dan arsip hilang. Bahkan arsip mahasiswa dan arsip para alumni yang tersimpan di lantai satu semuanya raib. Kampus ini juga kehilangan 42 dari 270 dosennya.

Karena tsunami, ada sekitar 83 orang mahasiswa yang kehilangan orang tuanya di kampus IAIN. Ratusan mahasiswa kehilangan tempat tinggal. Untuk membantu mereka, pihak Institut telah membebaskan uang kuliah. Buat menampung mereka juga telah dibangun tenda-tenda darurat di lingkungan kampus, juga mengoptimalkan daya tampung asrama mahasiswa dan asrama Pascasarjana.

Tarmizi, 25 tahun, adalah salah satu mahasiswa yang menggunakan fasilitas tenda darurat itu. Mahasiswa semester akhir Fakultas Tarbiyah ini telah kehilangan kedua orang tuanya di Desa Suak Busoe, Kecamatan Arongan Meulaboh, Aceh Barat. Dia kini tak hanya harus memikirkan dirinya sendiri, tapi juga adiknya, Salmiati, yang juga jadi mahasiswi di tempat yang sama.

Bersama rekan-rekannya, Tarmizi pernah bekerja membersihkan kampus IAIN. Upahnya lumayan, Rp 30 ribu per hari. Tapi kerja itu hanya sementara. Kini mencari pekerjaan yang lain susah sehingga ia memilih membenamkan diri dalam aktivitas kampus, termasuk membantu pendataan rekan-rekan mahasiswa. Kendati tak punya apa-apa lagi, Tarmizi punya tekad kuat untuk meneruskan hidup. "Saya ingin cepat lulus dan mencari kerja untuk membantu adik saya," kata Ketua BEM Fakultas Tarbiyah ini.

Nurasiah, 19 tahun, mahasiswa semester I Fakultas Tarbiyah, tak seyakin itu. Bagai burung yang sayapnya telah patah, ia kini didera kebingungan. Tsunami telah merenggut ibu kandungnya dan mengambil rumah serta usaha peternakan ayam mereka yang terletak di Desa Alue Naga, Syiah Kuala, Banda Aceh. Kini bersama ayahnya, Abubakar, yang selamat, dia mengungsi di masjid kampus IAIN. Dia ragu apakah masih bisa melanjutkan kuliah. Ayahnya sudah 70 tahun dan tak mungkin lagi menyokong biaya kuliahnya. Justru dia kini yang merasa berkewajiban mengurus ayahnya.

Yang membuatnya bingung adalah adanya rencana memindahkan lokasi pengungsi yang kini ditempatinya ke barak di daerah Lambaro, Aceh Besar. "Kalau ayah dipindahkan, saya juga harus ikut untuk merawatnya. Tapi, terus terang, saya juga ingin menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana," katanya.

Nurdin, Adi Warsidi (TEMPO, http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2005/02/28/PDK/mbm.20050228.PDK106314.id.html)

PROFESIONALISME POLISI

(Catatan untuk HUT ke-61 Polri)
[ Oleh: Erwin Shiddiq | Alumni Fakultas Hukum Unsyiah]

Polri yang dilahirkan 61 tahun lalu (1 Juli 1946), diharapkan dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Polisi berfungsi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat yang beriringan dengan fungsi TNI. Pasca reformasi, Polri lepas dari ABRI. Paradigma Polisi berubah dari militer menjadi sipil. Fungsi dan perannya semakin ditingkatkan, umumnya difokuskan sebagai inti kekuatan kantibmas, mewujudkan keyamanan dan terciptanya ketertiban dalam masyrakat.

Mencermati paradigma fungsi dan peran yang diemban Polisi, apakah saat ini sudah sesuai. Apakah Polisi kita sudah profesional? Banyaknya penilaian miring atas perilaku anggota polisi dalam pelaksanaan tugas sebagai inti kekuatan Kamtibmas selama ini, citra itu tampaknya belum tercermin. Bahkan secara eksternal justru semakin buruk. Berbagai kasus yang dilakukan anggota Polisi, salah tangkap, tindakan main hakim sendiri, penembakan warga masyarakat, dan kasus-kasus arogansi oknum kepolisian di jalanan, membacking tindakan kejahatan, menunjukkan profesionalisme Polri belum mampu ditunjukkan. Inilah agaknya yang harus menjadi perenungan petugas kepolisian, terutama pempinan Kepolisian pada HUT ke-61 Polri kali ini.

Suatu ironi ketika masyarakat mengkomplin tindakan brutal petugas Polisi, dimana para petinggi Polri selalu menggunakan jawaban klasik, “itu ulah oknum”. Bukankan oknum polisi itu adalah bagian institusi Polri, dan dididik di lembaga kepolisian? Karenanya, sudah tidak masanya lagi jawaban “oknum” ditampilkan kalau ingin menegakkan hukum dan membangun citra kepolisian di mata masyarakat.

Justru masyarakat memandang sikap dan kebijakan pimpinan Polri adalah pembiaran atasannya, bahkan ikut dalam tindakan merusak citra Polisi itu sendiri.

Kasus oknum polisi yang melakukan “tilang” (bukti pelanggaran) terhadap pengendara bermotor dengan delik pelanggaran, kemudian dilakukan “damai” dengan memberi uang kepada petugas Polisi Lalu Lintas, misalnya, adalah etalase citra buruk polisi kita selama ini. Bukan rahasia lagi, bahwa budaya “uang damai” dilakukan karena oknum polisi harus memenuhi “setoran” untuk atasannya. Tentu, kalau kita lebih jauh menelisik adanya uang “pelicin” puluhan juta rupiah yang harus diserahkan jika seseorang ingin lulus dan diterima sebagai anggota Polisi. Hal itu bukan lagi suatu yang tak lazim dalam institusi polisi kita.

Apresiasi memang pantas diberikan pada polisi lalu lintas (Polantas), Mereka sangat berperan mengamankan dan melancarkan lalu lintas, tingkat kecelakaan berkurang, pencegahan kemacetan, apalagi secara higinis polisi (Polantas) berdiri diterik matahari dan menghirup asap kendaraan, dapat menggagu kesehatannya. Maka kepada kecaman pun layak kita timpakan kepada pengendara kendaraan yang dengan semauanya mengemudi, melanggaran aturan dan rambu-rambu lalu lintas. Begitu pun budaya “damai-damai” tetaplah suatu kesalahan dan melanggar hukum.

Budaya “damai” atau dikenal “86”, tindakan represif dan arogam yang dilakukan petugas Polisi, sungguh dapat mencoreng citra korp kepolisian. Akibatnya, “ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena ulah seseorang atau beberapa petugas Polisi akan menjadi noda hitam bagi institusi kepolisian itu sendiri. Padahal, tidak bisa dinafikan kepolisian telah banyak berperan dalam stabilitas keamanan, penyelamatan generasi muda dari narkoba, sosialisasi hukum, bimbingan masyarakat, serta sejumlah peran nyata yang diikuti aksi sosial sangat mulia. Tapi marwah Polisi menjadi buruk karena tindakan oknumnya.

Citra yang ditampilkan petugas Polisi dengan budaya “damai-damai” di jalan raya, misalnya, telah menimbulkan stigma salah terhadap Polisi. Masyarakat menganggap, kalau mereka berbuat salah, maka cukup dengan “damai” sudah dianggap benar. Masyarakat juga menganggap begitulah penyelesaian pelangaran hukum di negeri kita.

Tanpa perlu ikut prosedur, cukup dengan memberikan sejumlah uang “pelicin” maka semua masalah dapat diselesaikan . Jika ini tidak dicegah, berarti Polisi sedang melakukan pengajaran kepada masyarakat tentang budaya hukum yang salah. Eksesnya, masyarakat tidak perlu taat dan patuh hukum, dan gulirannya kejahatan meningkat, dan kesadaraan hukum masyarakat menjadi hilang.

Profesional polisi

Peningkatan profesionalisme Polisi setiap HUT Polisi (Tanggal 1 Juli) selalu menjadi tema dan ditegaskan Kapolri. Namun amanat tinggal amanat, pidato sang Inspektur hanya sekedar wacana di media. Sebab kenyataan amanat tersebut belum mawujud di lapangan dan ditampilkan para petugas kepolisian. Mulai razia kendaraan yang liar sampai pemerasan, ugal-ugalan di jalanan, dan tindakan premanisme dan brutal anggota polisi, masih menjadi ingatan masyarakat.

Sebagai Polisi yang bertindak secara personal karena ia memang sebagai kekuatan Kamtibmas, maka profesionalisme sebenarnya harus menjadi “acuan” dalam setiap tindakan di lapangan. Ini yang harus ditegaskan para pimpinan Polri. Penegasan bukan sekedar wacana tapi diserta “penghargaan” bagi yang profesional, dan “hukuman” tegas bagi tidak profesional.

Institusi kepolisian sebagai lembaga pendidik dan pembinaan polisi harus mempertegas kembali profesinalisme itu. Tentu tidaklah cukup dengan sekedar kemampuan dan profesional, melainkan perlu dilandasi perbaikan dan pembinaan moral kepada setiap anggota Polisi. Penanam moral polisi sebagai pengayam dan pelindung masyarakat, harus dimulai dari personal dan institusi Polisi. Bagaimana, Polisi menanamkan moral dan citranya sehingga harus terlebih dahulu mengendepankan hati dan pikirannya sebagai Polisi profesional yang bermoral.

Kesadaran hukum dan moral yang tinggi ini hendaknya menjadi bahan renungan Polisi dalam memperingati HUT kelahirannya yang ke-61 pada saat ini. Kita percaya ketika situasi kamtibmas di Aceh sekarang makin tidak kondusif, mulai aksi kriminal, meningkatnya curamor, peredaran uang palsu, penggunaan senjata api yang bukan haknya,

peran Polisi yang profesional, menjadi dambaan masyarakat Aceh. Dirgahayu Polri, dirgahayu pengayom dan pengaman rakyat. (SERAMBI, 02/07/2007 08:04 WIB)

Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1067

TERPIJAK KERIKIL LAMA

Saifuddin Gani, SH (Advokat di Banda Aceh)

Belantara pemikiran politik di Indonesia dengan episentrum Aceh, pasca-deklarasi Partai GAM (7 Juli 2007) lalu, kembali bergolak. Berbagai persepsi, pandangan dan pendapat muncul.

Pergolakan pemikiran politik itu justru terjadi di tataran pejabat pemerintah pusat. Mereka sangat berat mengkhawatirkan seperti dikemukakan Prof Dr Muladi, gubernur Lemhanas, bahwa didirikannya partai GAM yang menggunakan atribut bendera GAM akan berujung pada referendum, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Muladi, Gubenur Lamhanas.

Kekhawatiran juga diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta. Ia menyatakan AD/ART partai GAM merupakan instrument dalam rangka membentuk suatu negara diluar NKRI. Karena itu menurut Andi Matalatta, pendirian partai GAM tidak boleh berlawanan dengan tiga semangat prinsip pada MoU Helsinki, perdamaian, rekonsiliasi dan reintegrasi. Hal senada juga disampaikan oleh Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Supiadin AS, demi semangat perdamaian agar dapat membangun kepercayaan, diharapkan para petinggi partai GAM tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang tertuang dalam MoU Helsinki, termasuk penggunaan atribut dan symbol partai yang lebih netral agar tidak menimbulkan konflik horizontal. Jika symbol yang digunakan akan membayangkan kembali warna GAM, itu berarti pihak GAM belum sepakat dengan MoU.

Kegelisahan pemerintah berdirinya partai GAM terutama pada symbol yang digunakan. Karenanya, Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR-RI, meminta agar parpol GAM tidak menggunakan simbol-simbol GAM. Itu yang harus dihilangkan dan ditinggalkan dahulu karena masih mengingatkan suasana konflik, padahal saat ini kita sudah melalui proses damai.

Kegelisahan dan kekhawatiran tersebut ditanggapi berbeda oleh banyak pihak, terutama dari KPA, sebagaimana disampaikan oleh juru bicara KPA, Ibrahim bin Syamsyuddin, yang menyatakan respon pemerintah terhadap pendirian partai politik local (parlok) oleh para mantan kombatan GAM, menunjukkan bahwa Jakarta belum ihlas dengan semangat perdamaian yang telah dibangun. Padahal para petinggi GAM dan seluruh mantan kombatan telah ihlas hidup dalam bingkai NKRI sebagai konsekwensi dari MoO damai di Helsinki.

Sementara Sahar L Hasan, Sekjen DPP Partai Bulan Bintang, justru mendukung kehadiran parlok GAM. Sedang masalah lambamg yang dipakai adalah aspirasi dan keinginan mereka, kalau memang nanti disahkan oleh yang berwenang, harus diterima.

Terhadap perbedaan pandangan tersebut, Otto Syamsyuddin Ishak, menyatakan bahwa polemik yang muncul hanya satu bayang-bayang orang Jakarta sendiri tentang Aceh, hanya bayangan negatif yang merasa terganggu dengan partai lokal. Pemerintahan Aceh melalui Wagub Muhammad Nazar, menanggapi polemik tersebut sebagai respon pusat yang terlalu berlebihan. Menurutnya pihak GAM tidak mungkin melakukan referendum, karena bertentangan dengan naskah kesepahaman (MoU) perjanjian damai Helsinki.

Serahkan saja kepada Departemen Hukum dan HAM untuk menilai boleh atau tidaknya keberadaan parlok GAM di Aceh. Dan semua pihak harus tunduk di bawah sistem Indonesia. Dan tampaknya pro-kontra itu khususnya pada atribut yang digunakan. Mungkin jika saja bukan memakai bendera GAM, maka parlok ini tidak mengundang polemik politik.

Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, karena simbol hanya menandai untuk suatu target politik partai untuk menjaring konstituen masyarakat. Dengan kata lain sebagai langkah kampanye media yang sebenarnya sudah dikenal efektif dalam pasar politik selama ini, tanpa harus mengeluarkan cost seperti iklan media.

Maraknya tanggapan atas kehadiran parlok GAM sangat menguntungkan karena dianggap partai itu berkualitas dibanding dengan metode kampanye pariwara. Sungguh jika pandai membaca bahwa hal ini menjadi strategi efektif oleh petinggi-petinggi parlok GAM untuk menjaring perhatian publik. Dan kelihatannya, banyak pihak yang bukan bahagian dari partai secara tidak langsung telah terseret dalam strategi kampanye partai politik GAM.

Parlok GAM begitu cerdas melaksanakan metode pameran politik (political marketing). Dalam teori pemasaran politik, kenyataan tersebut adalah awal dari sebuah kemenangan partai politik, dan patut diperhitungkan dalam percaturan politik.

Kerisauan masyarakat

Perdebatan panjang goal parlok berlambang GAM justru dikhawatirkan menimbulkan keresahan baru dalam masyarakat Aceh. Padahal rakyat baru saha terbebas dari konflik dan kekerasan dan sedang berbenah mengisi masa damai saat ini. Sehingga mengangkat kembali topik GAM sebagai icon, ibarat mengundang kembali situasi dan kondisi lama dalam bentuk konflik baru. Setidaknya itu diingatkan Wagub Muhammad Nazar, bahwa kehadiran partai GAM di Aceh tidak perlu ditanggapi berlebihan, yang justru bisa membuka peluang tersakitinya rakyat Aceh kembali.

Polemik itu mengingatkan saya pada sebagai puisi yang ditulis Hasbi Burman (presiden rex, red) “kembali menginjak kerikil lama” yang kemudian saya angkat sebagai judul opini ini. Semoga kekhawatiran dan kegelisahan ini tidak lebih hanya karena trauma saja. (Serambi, 30/07/2007 10:28 WIB)

Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1119

Pembangunan Good Governance Lewat Pembaharuan Parlemen



Oleh: Bahrul Ulum | Alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh |

Sejak reformasi bergulir di negeri ini, wacana mengenai tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) telah mewarnai berbagai diskusi dan berbagai literatur, pemerintahan yang baik menjadi issu yang krusial di masyarakat baik tingkat nasional maupun daerah. Namun sayangnya, proses menuju Good Governance masih terkendala, walaupun pemerintah telah melakukan pembenahan baik dari sisi kebijakan politik dan hukum untuk mendukung lahirnya sebuah tata pemerintahan yang baik.

Tulisan ini mencoba menyoroti “parlemen” atau lembaga legislatif sebagai salah satu sektor yang sangat penting bagi pembangunan good governance dimana peran dan fungsinya telah menjadi tolok ukur bagi pembangunan tata pemerintahan yang baik di Indonesia dan di daerah-daerah. Terkait dengan tiga fungsinya yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan yang telah melekat di parlemen didalam menilai dan mengukur kerja-kerja lembaga eksekutif, tentunya, tiga fungsi tersebut telah menjadi bahagian di dalam pembangunan sebuah pemerintahan yang baik, namun disadari bahwa didalam diri parlemen sendiri terdapat banyak persoalan yang perlu dibenahi terkait dengan pembangunan institusi tersebut sebagai salah satu sektor pembangunan good governance.

Setidaknya ada beberapa indikator penting pemerintahan yang baik, yaitu 1 keterbukaan (transparansi), (2) partisipasi masyarakat, (3) akuntabilitas, (4) supremasi hukum, (5) profesionalisme, (6) responsif (daya tanggap), dan (7) efisiensi. Indikator-indikator ini tentunya menjadi ukuran bagaimana suatu pemerintahan dijalankan dan aparatur pemerintahan bekerja, karena ketika kita berbicara mengenai tata pemerintahan, maka pendekatannya lebih menjurus kepada persoalan-persoalan tentang kenegaraan dan administrasi negara.

Namun sayangnya, parlemen kita belum dapat dikatakan memenuhi beberapa unsur tersebut diatas, hal ini disebabkan dari sistem rekrutmen yang setengah terbuka, dimana dominasi partai sangat kental, kondisi ini berdampak kepada model perwakilan yang menempatkan legislatif sebagai wakil partai politik, bukan wakil rakyat. Konsekuensi dari penerapan sistem pemilu proporsional dengan daftar yang ditentukan partai politik adalah adanya kecenderungan anggota legislatif untuk mengabaikan konstituennya karena anggota legislatif lebih terikat pada partai. Karena itu, rakyat sulit mengontrol kinerja anggota legislatif. Akibatnya, transparasi dan akuntabilitas sulit terbangun di parlemen, parlemen dapat dikatakan bukan institusi yang demokratis melainkan sebagai institusi yang oligarki karena peran pimpinan sangat besar di dalam menolak dan menentukan kebijakan di parlemen

Dari segi profesionalisme dan efiensi, para anggota legislatf sering lebih mendahulukan “politicking” partai dari pada berdiskusi dan menyusun Undang-Undang (UU) yang berguna, kemampuan bernegosiasi dan mencapai kesepakatan dalam masalah-masalah tata pemerintahan dan pembangunan di rasa masih sangat kurang. Kualitas individu anggota legislatif sebenarnya berkaitan dengan kemampuan pelaksanaan fungsi-fungsi parlemen, seperti fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Karena itu, tingkat pendidikan formal sebenarnya tidak memadai jika tidak diimbangi pengalaman politik, kematangan pribadi, kemampuan intelektual, dan moralitas. Hal ini ditambah dengan enggannya anggota legislatif memanfaatkan jasa-jasa penelitian yang disediakan oleh sekretariat parlemen, padahal hal tersebut sangat penting untuk mendukung profesionalitas dan sumber daya manusia masing-masing anggota legislatif.

Dalam hal akses informasi, partsipasi publik dan respon yang diberikan, lembaga legislatif tidak secara sistematis menyediakan akses dan kesempatan kapada warga dan organisasi-organisasi warga untuk berkonsultasi dalam penyusunan UU atau mengajukan rancangan UU mereka sendiri ke agenda parlemen, hal ini juga belum menjadi hak yang dapat diterima dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Akses berkonsultasi dengan anggota legsilatif masih dilandasi dengan adanya hubungan pribadi dan kekuasaan politik, dan belum adanya mekanisme penyerapan aspirasi yang memadai dari legislatif, untuk melihat kebutuhan konstituen atau rakyat, dimana selama ini hanya masa reses yang digunakan oleh anggota legislatif untuk menjaga konstituennya, namun sayangnya ajang ini hanya dijadikan sebagai posisi tawar politik bagi pemilu berikutnya.

Pembaharuan parlemen
Dari pemaparan tersebut bahwa sesungguhnya pembaharuan atau mereformasi parlemen menjadi suatu tuntutan bagi pembangunan Good Governance di tataran nasional dan di daerah-daerah. Ada beberapa solusi yang perlu di perhatikan, pertama, perbaikan mekanisme rekrutmen dan model perwakilan, antara lain melalui perubahan sistem pemilu menjadi sistem distrik preferensial sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya sendiri tanpa didominasi partai politik. Hal ini akan lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas dari parlemen, dan dapat mendorong partisipasi dan membuka akses kontrol yang lebih luas dari masyarakat. Kedua, peningkatan sumber daya manusia, dan diwajibkan kepada setiap anggota legislatif untuk memiliki tim ahli kepakaran, mengingat anggota parlemen di dominasi oleh tingkat sumber daya yang berbeda, dan belum tentu memahami semua persoalan, hal ini penting untuk menjamin dan menjaga akuntabilitas dan efisiensi kinerja mereka sebagai anggota legislatif yang nantinya akan memberikan keputusan-keputusan strategis di dalam jalannya roda pemerintahan dan negara

Ketiga, parlemen perlu membuka akses dan menyediakan akses informasi kepada publik yang didukung oleh skretariat legislative, berkaitan dengan hal-hal yang telah mendapat keputusan tetap dalam rapat-rapat paripurna, hal ini penting bagi legislatif sendiri untuk membangun transparasi, dan juga membuka kontrol yang lebih luas dari masyarakat terhadap kinerja legislatif.

Ketiga hal tersebut diatas akan menguatkan anggota legislatif dan parlemen sebagai sebuah institusi kenegaraan yang melaksanakan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Legislasi misalnya membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat. Dilihat dari sisi substansi, legislasi harus mencerminkan kepentingan publik dan strategis bagi percepatan pembangunan daerah. Dilihat dari sisi yuridis, legislasi harus merupakan perangkat hukum yang mampu membangun kepastian hukum. Dari sisi praktsis, legislasi harus feasible, politically accepted, administratively feasible, economically efficient. Begitu juga dengan fungsi pengawasan yang diwujudkan didalam melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan Perundang–undangan, anggaran dan kebijakan pemerintah, dan fungsi anggaran di dalam menetapkan anggaran dan menilai anggaran tersebut sesuai dengan prosedur atau tidak.

Akhirnya pembaharuan parlemen adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk segera dilakukan, karena parlemen adalah institusi penentu kebijakan yang sangat penting di dalam penyelenggaraan negara.
http://www.acehinstitute.org/opini_bahrul_pembaharuan_parlemen.htm

POLA-POLA DAMAI SEBAGAI SOLUSI PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM MASA LALU DI ACEH


( Pendekatan Adat Sebagai Aspek Kearifan Lokal )

Oleh : H.Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum

Sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Aceh (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) penuh dengan fluktuasi pasang surut. Pernah hebat dan jaya masa dulu, menjadi catatan sebagai daerah modal republik, masyhur sebagai Serambi Mekkah, namun terakhir populer dengan sebutan daerah DOM (Daerah Operasi Militer). Berbagai status lainnya pernah pula di sandangkan untuk Aceh: Darurat Militer, Darurat Sipil, dan kini sedang nyaman pula sebagai kawasan Damai paska MoU Helsinki
Variabel penyebab lahirnya nama-nama itu, tak mungkin kita serahkan semata-mata karena takdir, sebab realitasnya cukup jelas, betapa peran tangan-tangan manusia telah mengubah peta kehidupan masyarakat Aceh menjadi bahagian dari permasalahan HAM, yang mendunia pada masa kini. Mari kenangan manis masa dulu, kita standarkan dan kenangan pahit masa kini, selayaknya kita tuntaskan.
Peristiwa-peristiwa itu, sejak berlakunya operasi militer di Aceh tahun 1990, telah meninggalkan titik-titik noda sejarah, berupa pembunuhan, penculikan, penganiayaan, pelecehan seksual dan kerugian harta benda. Ribuan manusia menderita (meninggalkan ahliwaris janda, anak yatim/piatu, penyandang cacat fisik/ non fisik, kehilangan tempat tinggal, putus sekolah, miskin-papa, dan lain-lain). Semua tindakan itu dipandang sebagai delik/pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu harus dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum, manusia, dan di hadapan Allah SWT.

Alhamdulillah peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM itu tidak berlanjut, karena atas kasih sayang Allah SWT, telah menurunkan rahmat “Anugerah Perdamaian” kepada masyarakat Aceh secara keseluruhan, dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005.

Lahirnya naskah MoU-Helsinki, tidak otomatis telah menyelesaikan kompleksitas masalah di Aceh, melainkan hanya telah dapat menghentikan permusuhan/peperangan dan membuka jalan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kontroversial selama ini. Persoalan-persoalan besar antara lain menyangkut dengan pelanggaran HAM, yang menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia dengan segala elemen terkait lain untuk menuntaskannya, sebagaimana tercantum dalam point MoU, sebagai berikut:
 Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh
 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya Rekonsiliasi (Seri Dinas Infokom Aceh, Naskah MoU: 2005)

Persoalan Pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, pada dasarnya telah menodai dan melukai konstruksi sistem equilibrium tatanan kehidupan kultur paguyuban adat Aceh. Kondisi ini, harus dirajut dan direkat kembali melalui nilai-nilai adat Aceh, peninggalan indatu yang masih relevan dengan kehidupan sekarang ini, baik bersifat preventif maupun represif, antara lain:
Nilai-nilai preventif :

“ Beik ta meuprang sabei keudroe-droe, hancoe nanggroe reuloh bangsa”
“Malei kaom, meungnyoe meupakei, habeih crei-brei bandum syeedara”
“Meulawan hukom, raya akibat, meulawan adat malei bak donya”
“Ta peuturot nafsu, malei pih tanlee, peu turot hatei nyawong teuhila“

Dari narit maja diatas dapat dipahami, bahwa kultur Aceh sangat antisipatif terhadap konflik, bahkan nilai-nilai preventif selalu dikedepankan. Namun kalau sudah mengganggu harkat dan martabatnya, maka nilai-nilai represif mengemuka maju kedepan
Nilai-nilai represif antara lain :

” Dong bak kong, hana ku turie saboh, sigoe ku teubit, sigoe ku matei ”
” Nibak malee, geit ta lop lam tanoh crah, nibak singeit geit bah roe ”

Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada ”dendam”, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). Masyarakat mengenal ”asas tungbeela” yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/beela droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan ”DAMAI” sangat dominan dalam kehidupan masyarakat. Biasanya ini menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).

Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin/dimodernisasi oleh ”Ureung-ureung patot/Ureung Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu Uleebalang, Ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya). Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur, berantakan selama ini, menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan..
Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut:

” Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”
” Masalah nyang rayeuk ta peu ubit
Nyang ubit ta peu gadoh ”
” Beu lee saba...,
Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,
Mak got nanggroe makmue beurata”
” Tajak ba troek, ta eu bak deuh,
Beik rugoe meuh sakeit hatee ”

”Damai” dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh Al-Qur’an, yang dikenalnya sejak kecil, di rumah, rangkang dan Meunasah, lebih-lebih bulan Ramadhan, sehingga menjadi satu kekuatan penunjang hidupnya.

Menyangkut “Budaya Damai”, nilai-nilai Qur’ani mengajarkan, antara lain :
• Manusia berada dalam kelemahan dan kehinaan, (dimana, kapan dan dalam keadaan apapun ), kecuali manusia-manusia yang menegakkan hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan menegakkan hubungan dengan manusia (hablum minannas) sesuai dengan penjelasan dalam Al-Quran, Ali Imran: 112
• Orang mukmin sesama mukmin bersaudara, maka berbaik-baiklah antara sesamanya (Q, al-Hujurat : 10)
• Muslim sesama muslim sebagai bangunan yang satu dengan yang lainnya saling mengikat (hadist)
• Tidak sempurna iman seseorang, apabila tidak menyayangi saudaranya sebagaimana (ia) sayang kepada dirinya (hadist)

Nilai-nilai Qur’ani itu telah menjiwai masyarakat, melahirkan kultur nilai-nilai primer yang mempengaruhi pola pikir dan hati nuraninya dalam menjalankan kebijakan dan tindakan prilakunya, berhadapan dengan lingkungan. Nilai-nilai primer itu, antara lain :
 Istiqamah (komit) dengan aqidah Islami (Hablum minallah)
 Pemaaf, membangun persaudaraan (Hablum minannas)
 Universal (tidak ada gap: antar agama, antar suku, antar bangsa)
 Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
 Panut kepada imam (pemimpin)
 Cerdas dengan ilmu dan kearifan

Gambaran singkat tersebut diatas tentang norma-norma, kultur nilai dan peran struktur kelembagaan adat Aceh, dengan ”institusi damai” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, maka penyelesaian Pelanggaran HAM di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui pendekatan kultural adat Aceh. Dari aspek hukum dan perundang-undangan (Undang-undang.Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) telah memberi isyarat, bahkan membuka peluang untuk menempuh penyelesaian damai. Hal itu dapat diperhatikan:
1. U.U.No: 26 Tahun 2000, pasal 47 ayat (1) menegaskan : Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
2. U.U.No:27 Tahun 2004, pasal:
a. pasal 1 angka 2: Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan dan pengampunan, melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa
b. pasal 28 ayat (1) dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000, tentang pengadilan hak asasi manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk memberikan amnesti

1. Dalam penyelenggaraan ”Damai” adat, ada dua mekanisme yang perlu dilalui, yaitu:
a. Pertama: Prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum ”Adat Meusapat”, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran HAM, dengan menggunakan asas ”luka tasipat, darah ta sukat” (Kompensasi/Kerugian). ”But nyan geit peureulee beu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka”
b. Kedua: Prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara : Peusijuk, bermaafan, Sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a
2. Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) Mencatat: bahwa bangun (dhiyat – dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar “bangun yang mati” kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Isa Sulaiman, 2002:121)
3. Pelaksanaan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, suatu model, puncak penyelesaian adat (damai) berkaitan dengan peristiwa DI/TII dengan Pemerintah RI, dilaksanakan pada tanggal 18–21 Desember 1962 di Blang Padang Banda Aceh. Penyelesaian Musyawarah Kerukunan itu, dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan (sipil) dan militer di daerah, beserta utusan Pemerintah Pusat yang di tujukan untuk menyelesaikan segala masalah yang selama 10 tahun terakhir yang mengganggu pengembangan dan pertumbuhan Aceh di segala bidang, dianggap terkubur habis (A. Hasjmy, dkk, 1995:192)
4. Piagam Blang Padang, Kerukunan Rakyat Aceh: Dengan kurnia Allah Yang Maha Esa, pada hari yang berbahagia ini, kami rakyat Aceh, dengan penuh khidmat dan dengan hati nurani yang putih bersih serta ikhlas, telah bulat meupakat, memelihara dan memupuk kerukunan yang bersinarkan persatuan dan silaturrahim yang abadi, sehingga merupakan kekuatan batin dan penggerak pembinaan generasi Aceh turun temurun, dalam rangka pembangunan bangsa Indonesia yang besar, dijiwai proklamasi 17 Agustus 1945 menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Semoga Allah memberkati kita.

Aceh Darussalam 21 Desember 1962/24 Rajab 1382.
Atas nama Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Dewan Pimpinan : Ketua Umum, ttd M. Jasin (Kol.Inf.Nrp.10023),
Ketua I, ttd A. Hasjmy (Gubernur),
Ketua II, ttd Nyak Adam Kamil (Let.Kol Inf.Nrp.12081)
(Isa Sulaiman, 1997:521 )
5. Banyak kasus-kasus pidana lainnya dalam masyarakat yang diselesaikan secara adat, melalui Lembaga Adat Gampong/Mukim atau lembaga-lembaga adat lainnya, dengan kompensasi diyat/sayam/suloh.


DAFTAR PUSTAKA


A.Hasjmy, dkk, 50 Tahun Aceh Membangun, Penerbit, MUI Prov.NAD, 1995, Cetakan Pertama, Bali-Medan

Isa Sulaiman, M, Dr, dan Syamsuddin MS, (2002), Pedoman Adat Aceh:
Peradilan dan Hukum Adat, Penerbit LAKA Prov. NAD, 2002, Edisi II.

------------------------, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, 1997, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nota Kesepahaman (MoU), antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Helsinki Finlandia, 15 Agustus 2005

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Disampaikan pada Workshop Strategic Planning Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu di Aceh, di selenggarakan di Sabang tanggal 22 – 23 Mei 2006 oleh Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI)
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Sumber: http://www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola_damai.htm

Gambaran Birokrasi Kita: Kalau Bisa Dipersulit Ngapain Dipermudah


Oleh: Cut Hasniati | Direktur LBH Anak Wilayah Singkil

Kita membenarkan yang biasanya bukan membiasakan yang sebenarnya




Mungkin pembaca sering mendengar iklan sebuah perusahaan rokok yang sering nangkring di televisi, yang berbunyi ‘kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah, tanya kenapa?’

Bagi kita yang hanya sepintas mendengar iklan ini tidak ada kesan yang sangat berarti, tapi kalau kita simak dengan teliti, ada pernyataan mendalam yang terjadi pada bangsa ini, sampai-sampai gambarannya tercermin dalam sebait pernyaataan dalam iklan perusahaan rokok diatas.

Bukannya kita tidak punya sumber daya alam, bahkan bisa dibilang malah sumber daya alam kita melimpah ruah. Didukung pula dengan sumber daya manusia yang secara keilmuan sudah memadai, walaupun jumlahnya masih terbatas. Analisis saya, kita mempunyai sumber daya yang cukup, yang buruk sebenarnya adalah sumber daya manusia tersebut yang sudah terjangkit penyakit ‘keropos moral’, terutama para birokratnya dan masyarakat yang terkomtaminasi penyakit keropos moral ini.

Contoh dekat, kalau para birokrat, keropos moralnya terealisasi dari pelaksanaan tugasnya sehari-hari sebagai pelayan yang minta dilayani, meminta fee (uang jasa layanan) kalau masyarakat datang minta layanan, suka mengambil uang sogok dari masyarakat yang sudah diketahui kalau perbuatan itu jelas-jelas melanggar peraturan. Juga suka menyogok para atasan untuk mendapat posisi--walaupun dia dan atasan yang disogok paham kalau sogokan itu ditujukan untuk duduk pada posisi yang sebenarnya sang penyogok tidak layak--di posisi tersebut. Akibatnya, hampir semua posisi diduduki oleh orang yang mempunyai koneksi dan kepemilikan amplop sesuai dengan standar posisi yang ingin didudukinya, tanpa dibarengi dengan kualitas dan kemampuan kerja yang sesuai dengan posisinya.

Akibatnya, public service jadi terancam, karena si birokrat harus mengeluarkan banyak modal untuk memuluskan jabatannya. Otomatis kelakuan meminta uang tebusan untuk pengembalian modal pun kemudian dilakukan dan yang menjadi korban utama atas politik tebus ini tentu saja masyarakat. Malah imbasnya bukan itu saja. Karena minusnya kapasitas, keilmuan, pengalaman, pengetahuan tentang tupoksi dibidang yang didudukinya, akhirnya program yang dijalankan tidak mengena sesuai bidangnya. Acapkali program mencaplok program orang lain dan diusulkan karena memenuhi kepentingan, tanpa berfikir kesesuaian dengan tupoksi untuk selanjutnya mendukung pembangunan secara keseluruhan.

Begitu juga perkembangan penyakit ‘keropos moral’ dalam masyarakat yang telah menjalar mengalahkan penyakit lain seperti TBC, Malaria dan HIV/AIDS. Hal ini tergambar dari budaya adu domba, permusuhan, pemaksaan kehendak dengan cara yang tidak demokratis, loss culture dan mudah terprovokasi. Sejalan dengan perilaku birokrat yang buruk, masyarakat pun cenderung menurut dan menjadikan keadaan ini sebagai hal yang harus diikuti. Misalnya, kalau birokrat memberi kesempatan sogok, maka masyarakat pun dengan senang hati melayaninya dengan memberikan upeti yang jelas diketahuinya itu ditujukan untuk keperluan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Setali tiga uang dengan birokrat, akhirnya proses dan pelayanan publik kita semakin terpuruk dan keadaan itu akhirnya diiterima sebagai hal yang wajar terjadi. Karena birokrat merasa enak dengan pola memperlambat dari pada mempermudah. Tentu saja impactnya adalah meningkatnya income baru bagi birokrat dari proses memperlambat. Hasilnya, Birokrat semakin terbiasa dan menjadikan masyarakat sebagai pelayan, bukan sebagai subject yang dilayani.

Entah darimana awalnya, adagium ‘kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah ini’ kemudian menjalar seperti penyakit yang sudah akut. Hasilnya, hampir semua lini kegiatan khususnya di pemerintahan, memang sengaja untuk mempersulit pelayanan yang diminta masyarakat, baik dari hal yang sepele apalagi yang memerlukan penanganan yang yang lebih serius tidak akan pernah diselesaikan dalam waktu cepat. Kenapa begitu sulit menerapkan Standar Operating Procedure (SOP), Pelayanan Satu Atap (One Top Service), Pencapaian Output bukan Absensi untuk semua pelayanan surat dan berbagai bentuk sertifikasi lainnya. Kenapa untuk satu bentuk surat keluar saja (contoh surat keterangan miskin, surat keterangan sehat, surat keterangan penduduk setempat dll) memerlukan waktu minimal 3 hari. Hal ini akan lebih panjang lagi, apalagi untuk mengurus surat yang mungkin substansinya lebih berat lagi. Output Pelayanan Prima yang digaungkan oleh pemerintah sebagai wujud dari fungsi pelayanan aparatur tidak pernah tercapai dan hanya live service belaka!.

Akibat dari adagium ‘kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah’, ternyata bukan hanya membawa pengaruh negatif kepada public service tapi juga anggaran operasional keuangan negara pun ikut-ikutan terkuras dibuatnya. Karena waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan demikian panjang, maka diperlukan dana transportasi, lembur, uang lelah dan lain-lain sejenisnya untuk aparatur yang melayani kepentingan masyarakat tersebut.

Bayangkan saja, hampir terjadi diseluruh anggaran baik di Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, terjadi pemborosan dan ketidakproporsionalitasan antara belanja publik dan belanja operasional. Belanja Operasional acapkali harus lebih besar dari Belanja Publik, semuanya diperuntukkan untuk aparatur yang bekerja untuk melayani masyarakat. Tidak cukup dari anggaran pemerintah, fee atau uang ‘terimakasih’ pun masih diterima dari masyarakat. Karena terkooptasi mudahnya menghabiskan anggaran Negara dari operasional, ditambah lagi banyak uang masuk kanan kiri dari masyarakat, masyarakat pun menjadikan pegawai pemerintahan sebagai pekerjaan yang diimpi-impikan. Kalau belum punya status ‘pegawai’ yang bersangkutan dianggap belum mempunyai pekerjaan tetap. Fenomena yang aneh bukan!!

Bentuk dan praktek yang menghambat pelayanan dan servis kepada masyarakat, terjadi disemua bidang. Bahkan disinyalir, berbagai proyek dan program pemerintah baik pusat maupun daerah (provinsi dan kabupaten) menjadi lambat dan tidak terealisasi karena tidak pekanya para aparatur. Mulai dari pengusulan program yang syarat kongkalikong, pelaksanaan program yang tidak mempunyai perencanaan yang fixed, serta realisasi program yang tidak berkualitas. Seringkali setelah program disahkan, para aparatur tetap saja seperti orang tidak berpengalaman dalam mengaplikasikan program. Padahal peraturan untuk program pemerintah, biasanya hanya dua yaitu jasa (pelayanan) dan pengadaan barang/bangunan.

Misalnya saja untuk program fisik, sesuai Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, dan waktu yang harus diikuti dan normalnya bila memang harus tender bebas tidak melebih waktu 45 hari. Namun acapkali program fisik terlambat bahkan urung dilaksanakan karena keterlambatan proses dan pelaksanaan tender. Akhirnya, yang menjadi korban dari terlambatnya pelaksanaan program tersebut adalah rakyat. Bahkan disinyalir banyak program dilaksanakan terburu-buru dan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja). SPK tidak dibuat sebelum pekerjaan dilakukan, tapi dibuat saat pencairan dana, walaupun semua pihak sadar benar bahwa pekerjaan tanpa SPK adalah illegal. Gambaran lamban dan tidak profesionalnya pelaksanaan program pemerintah daerah sangat kentara kita rasakan, bahkan anehnya berlangsung dari tahun ke tahun anggaran tanpa perbaikan yang berarti.

Bukan hanya teknis yang bermasalah, ditambah lagi substansi dan kualitas program yang diusulkan tidak menyentuh grassroot. Acapkali, program tidak mempunyai perencanaan yang baik, tidak mempunyai analisis SWOT, logframe, TOR, perencanaan pelaksanaan, proses monitoring dan evaluasi program. Usulan program tidak didasarkan pada needs tapi berdasarkan lobby dan kepentingan kelompok, politis dan golongan para Politisi Dewan dan Birokrat Pemerintahan. Hilang sudah aspirasi dan keperluan rakyat yang diagung-agung kan telah dilewati dalam proses Musrenbang Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Nasional. Proses aspiratif ini hanya menjadi pemanis mulut bahwa sudah ada mekanisme penampungan aspirasi, walaupun akhirnya aspirasi itu tinggal dalam catatan dan akhirnya dibuang karena sudah lapuk dimakan usia, tanpa pernah diambil substansinya. Karena yang disahkan oleh para elit tetap saja usulan program berdasarkan kepentingan elit dan kelompoknya. Kabarnya semua itu dilakukan untuk memenuhi janji didaerah kampanye, ditambah lagi usulan itu harus dikerjakan oleh perusahaan kontraktor person pengusul di pengesahan anggaran, yang notabene adalah anggota dewan.

Gambaran ini merupakan cerminan kondisi dan fakta dilapangan. Terkadang karena sudah terlalu sibuk dengan sistem yang telah terpola itu, akhirnya kita semua merasa yang berjalan adalah hal yang wajar dan sekali lagi kita terkooptasi dengan kalimat “ kita membenarkan yang biasanya bukan membiasakan yang sebenarnya”.

Sumber: http://www.acehinstitute.org/opini_cut_hasniati_gambaran_birokrasi_kita.htm

Rabu, 27 Agustus 2008

AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN

Oleh: Komisi Hukum Nasional
04 September 2007

Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 3 ayat berikutnya, merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial. Pasal tersebut juga bermakna kewajiban negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk melakukan usaha yang maksimal guna menyejahterahkan masyarakatnya.

Dengan berdasarkan ketentuan di atas dan undang-undang berikutnya yang telah disahkan oleh DPR, seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), maka negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin.. Meskipun kriteria miskin dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, namun perubahan kriteria tersebut, seharusnya tidak menjadikan hambatan bagi pemerintah untuk memelihara hak-hak fakir miskin.[1]

Berdasarkan pertimbangan tersebut, seyogianya fakir miskin dipelihara hak-haknya oleh negara (negara diwakili oleh pemerintah). Termasuk hak-hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.

Pemerintah perlu juga merenungkan kembali apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin mendapatkan hak-haknya. Sejauh yang kita alami sejak lama, berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin, telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam kerangka mendapatkan keadilan di luar pengadilan, pemerintah telah lama memprogramkannya di bidang kesehatan dan pendidikan. Kedua hal itu merupakan modal bagi masyarakat miskin untuk memberdayakan dirinya sendiri. Oleh karenanya, dicanangkan program pembangunan puskesmas di setiap kelurahan dan program wajib belajar 9 tahun pada masa orde baru, namun seiring perjalanan waktu, angka kemiskinan terus meningkat.

Menurut standar 1996, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sementara pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.[2] Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006, jumlah penduduk miskin adalah 39,05 juta (17,75%).[3]

Krisis ekonomi yang berkelanjutan dan program pemberdayaan masyarakat miskin yang tidak terencana dengan baik menjadi sebab utama peningkatan angka kemiskinan. Pelajaran berharga dari masa orde baru ialah kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Kebijakan pada waktu itu menekankan pada terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang luas. Kelompok-kelompok usaha tersebut diharapkan dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect.

Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut gagal melakukan pemerataan. Yang terjadi ialah pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998. Lebih parah lagi, kelompok-kelompok tersebut diduga kuat terkait korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang tidak kunjung penyelesaiannya hingga kini. Kerugian negara akibat BLBI semakin memperberat beban masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Kecenderungan negara berkembang, termasuk Indonesia, ialah banyaknya masyarakat miskin di pedesaan. Peningkatan angka kemiskinan berdasarkan data tersebut di atas, menjadikan masyarakat miskin di pedesaan menjadi lebih menderita. Hal ini diperparah dengan penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di Indonesia yang telah sekian lama berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal (musyawarah, pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki dan ketimpangan struktur kekuatan di tingkat lokal.

Dalam kerangka mendapatkan keadilan di dalam pengadilan, penyelesaian secara formal melalui lembaga hukum formal – polisi, jaksa dan pengadilan bias terhadap kekuasaan dan terasing dari masyarakat. Akibatnya, orang miskin di pedesaan lebih suka menekan masalah dan rasa ketidakadilan yang dialami daripada berupaya memperbaiki situasi.

Pemerintah yang telah berganti pola dari pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah), perlu menangkap dan merealisasikan peluang-peluang percepatan pemberdayaan masyarakat miskin, sebagai bagian dari hasil perenungan kembali apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin mendapatkan hak-haknya. Pemberdayaan masyarakat miskin tersebut akan berakibat langsung terhadap penurunan angka kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat miskin di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang memberdayakan masyarakat miskin, baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah.

Pemerintah daerah sangat mungkin melakukan pemberdayaan masyarakat miskin karena menghadapi jarak yang lebih dekat dengan masyarakat miskin itu sendiri di daerahnya masing-masing. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut juga berada di tangan pemerintah daerah, yang dalam hal ini ialah pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten atau kota, serta pemerintah kecamatan, kelurahan/desa. Pemerintah daerah harus memahami bahwa upaya penurunan angka kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah yaitu “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”.[4]

Pemerintah daerah wajib mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, yang mana masyarakat dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Dengan pola partisipatif tersebut, proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, akan berada pada jalur yang tepat pada saatnya nanti. Pemerintah pusat wajib konsisten untuk menjaga arah otonomi yang memberdayakan masyarakat miskin. Dalam kerangka di bidang hukum, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib membentuk program-program pemberdayaan masyarakat miskin, dengan mengkondusifkan akses keadilan dalam hal sebagai berikut:

1) bantuan hukum bagi masyarakat miskin;

2) kebebasan memperoleh informasi yang bersifat umum;

3) pelayanan administrasi pemerintahan yang bebas korupsi, efisien dan transparan;

4) pengaturan upah minimum regional bagi tenaga kerja;

5) dengar pendapat dalam perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat dan daerah;

6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah;

7) pemerataan Hasil Pendapatan Pusat dan Daerah

8) jaminan Keamanan bagi Semua Anggota Masyarakat



1) Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin

Seharusnya pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri selalu menyadari bahwa bantuan hukum sebenarnya dapat merupakan sarana untuk melindungi dan menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat sebagai pencari keadilan. Oleh karena itu pemenuhan hak atas bantuan hukum oleh pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri, diharapkan membuka jalan menuju akses keadilan yang terbuka luas bagi masyarakat pencari keadilan.

Dalam lingkup kesejahteraan sosial, maka ketiadaan sumber keuangan yang cukup, ketiadaan penguasaan informasi, ketiadaan pengetahuan dan pendidikan formal, ditambah dengan ketiadaan dukungan bantuan hukum yang maksimal untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin, menjadikan masyarakat miskin lebih sulit untuk memberdayakan dirinya sendiri, misalnya, masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan hak-haknya atas kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan sedangkan pemenuhan hak-haknya tersebut menjadi modal untuk memberdayakan dirinya berubah menjadi sejahtera.

Dalam hal itu, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan suatu upaya untuk menerangkan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin agar terpenuhi kebutuhan subsidinya oleh pemerintah. Subsidi pemerintah sangat dibutuhkan agar biaya kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan menjadi terjangkau.

Dalam lingkup sistem peradilan, pemberian bantuan hukurn, terutama ditujukan bagi masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum tersebut, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang besar bagi dinamika masyarakat, misalnya, dengan pemberian bantuan hukum atas suatu kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kasus penggusuran tanah dan/atau bangunan di atasnya yang dimiliki masyarakat, diharapkan dapat rnenjadi contoh bagi rnasyarakat bahwa dalarn kasus tersebut, ada penanganan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk menyadari dan memperbaiki kekeliruannya.

Dengan melihat hal tersebut di atas, maka bantuan hukum minimal mempunyai dua ruang lingkup yaitu:

1) Lingkup kesejahteraan sosial, dengan isu pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat miskin, terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban pemerintah seperti kebutuhan atas kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan.

2) Lingkup sistem peradilan, dengan pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau masyarakat yang berlawanan dengan pemerintah.


2) Kebebasan Memperoleh Informasi Publik”

Banyak cerita mengenai bagaimana masyarakat miskin tidak mengetahui informasi yang seharusnya mereka dapatkan dari pemerintah. Salah satunya adalah ketika konflik sosial pecah di berbagai daerah di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Ratusan ribu keluarga lari dari tempat tinggal mereka dan jadi pengungsi. Mereka yang terpaksa pindah dari daerah asal berhak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, khususnya Departemen Sosial. Akan tetapi laporan dari lapangan menunjukkan bahwa bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke para pengungsi.[5] Begitu pun juga cerita mengenai korban banjir yang cukup banyak terjadi di Jakarta, yang tidak tahu informasi mengenai persisnya bantuan yang diberikan pemerintah, terutama pemerintah DKI Jakarta. Akibatnya warga mengaku tidak menerima bantuan.[6] Ketidaktahuan informasi seperti itu juga sering terdengar dalam masalah pengurusan surat-surat tanah, perijinan, dan lain sebagainya.

Kesamaan yang selalu terjadi dalam setiap kejadian yang merugikan masyarakat miskin seperti tersebut di atas ialah, tidak ada informasi yang jelas tentang apa yang menjadi hak pengungsi atau korban banjir, yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Juga tidak terdapat kejelasan bagaimana memperoleh sruat-surat resmi dan perijinan, berapa besar biayanya yang resmi, siapa yang bertanggung jawab dan kepada siapa dapat mengadu apabila terjadi penyimpangan.

Pemerintah memang belum serius untuk mewujudkan hak-hak masyarakat atas informasi publik. Sangat wajar jika terjadi keluhan masyarakat atas pemerintah, dan bahkan “wajar” jika terjadi penyelewengan karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang menjadi haknya, sehingga masyarakat tidak dapat mengawasi dengan cermat “tindak-tanduk” pemerintah. Hal ini jelas merugikan masyarakat, terlebih masyarakat miskin.

Dalam kerangka yang cukup penting mengenai informasi publik, APBD yang sangat berperan besar dalam memberdayakan masyarakat pun masih dianggap merupakan informasi yang sangat rahasia dan sulit untuk diberikan kepada masyarakat, meskipun masyarakat memintanya dengan resmi. Sementara, seperti diketahui secara umum, APBD disahkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah tentu menjadi informasi publik yang berhak diketahui oleh masyarakat.

Kebebasan memperoleh informasi publik masih menjadi hal yang sangat asing bagi sebagian besar aparatur pemerintah baik pusat maupun daerah. Ini merupakan hal yang bertentangan hak asas manusia yang bersifat fundamental dan universal untuk memperoleh informasi publik. Hal ini berarti setiap individu punya hak, tanpa kecuali, untuk memperoleh informasi publik. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pemerintah memiliki kewajiban membuka informasi publik. Kebebasan memperoleh informasi publik ini mendapat jaminan secara internasional, terutama dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB dimana disebut bahwa “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide melalui media apapun, dan tak boleh dihalangi.”

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa dalam negara demokrasi seperti Indonesia, penyelenggaraan kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah, harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada rakyat. Pertanggungjawaban tersebut sering diistilahkan dengan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan kebutuhan karena dengannya masyarakat diarahkan menuju ke tata pemerintahan yang baik. Masyarakat pun mendapatkan jaminan hak asasi manusia dengan adanya akuntabilitas itu. Untuk itu, pemerintah yang terbuka (open government) merupakan salah satu fondasinya. Dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan informasi publik adalah suatu keharusan. Dengannya pemerintahan dapat berlangsung transparan, dan partisipasi masyarakat terjadi secara penuh dalam seluruh proses pengelolaan pemerintahan. Proses pengelolaan itu termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya masyarakat sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.[7]


3) Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi, Efisien dan Transparan”

Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai: kewajiban yang diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah guna memenuhi hak-hak warga masyarakat. Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah: “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Lebih lanjut, berdasarkan keputusan tersebut di atas, pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan Barang dan Kelompok Pelayanan Jasa. Makna dari masing-masing kelompok pelayanan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Kelompok Pelayanan Administratif: yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administrasi misalnya: penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:

a) status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);

b) status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, dan lain-lain.);

c) status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dan lain-lain.).

2) Kelompok Pelayanan Barang: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dan lain-lain.);

3) Kelompok Pelayanan Jasa: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan post, dan lain-lain.).

Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat miskin, pemerintah baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin pada pelayanan publik yang bebas korupsi, efisien dan transparan. Namun dari penelitian yang dilakukan KHN pada tahun 2004 lalu, pemerintah masih belum mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan itu. Hal itu dapat dilihat dari tiga gejala utama yang cukup mengkhawatirkan dalam pelayanan publik, yaitu:

1) rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi masyarakat/anggota masyarakat;

2) birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dan sebagainya.

3) rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (public complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, peraturan perundang-undangan yang tampaknya dipersiapkan sebagai ‘umbrella regulation’ di bidang pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik (public complaints, public governance standards and procedure).[8]


4) Pengaturan Upah Minimum Regional bagi Tenaga Kerja

Masalah upah mendominasi hubungan antara tenaga kerja dengan perusahaan.[9] Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mulai efektif diimplementasikan pada bulan Januari 2001, Indonesia mulai memasuki masa penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.

Pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Seiring digantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah pun mungkin akan memenuhi tuntutan masyarakatnya agar memberlakukan pendekatan yang lebih populis dalam kebijakan upah minimum regional, terlebih dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung.

Bersamaan dengan semakin meningkatnya kecenderungan pemerintah daerah untuk semakin memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan sosial sekaligus meraih simpati masyarakatnya, maka terdapat kemungkinan terjadinya dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap penyerapan berbagai jenis tenga kerja, terutama tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin.

Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum, maka terdapat kemungkinan bahwa:

1) perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan tenaga kerja terampil yang dapat disebut sebagai tenaga kerja “kerah putih”. Perusahaan pun dapat mengubah proses produksi yang banyak menyerap tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai, dengan proses produksi yang lebih padat modal (menggunakan teknologi tinggi) dan lebih menuntut keterampilan. Hal ini berarti proporsi tenaga kerja “kerah putih” akan lebih tinggi terserap seiring pemanfaatan teknologi tinggi, atau;[10]

2) perusahaan lebih memilih menutup usahanya karena beban biaya yang bertambah tinggi ditambah “pungutan liar” yang terus menjadi beban perusahaan dan tidak dapat diberantas oleh pemerintah.

Dengan demikian, upah minimum dapat menguntungkan sebagian tenaga kerja tetapi merugikan sebagian lainnya. Para tenaga kerja “kerah putih” yang berketerampilan memadai dan dapat mempertahankan pekerjaannya di perusahaan, akan mendapat keuntungan dari peningkatan upah minimum. Namun, para tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin, akan mudah kehilangan pekerjaan. Para tenaga kerja tersebut sebagian besar merupakan tenaga kerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah.

Jika Indonesia mempunyai iklim pertumbuhan ekonomi tinggi dan bebas ”pungutan liar” terhadap perusahan-perusahaan, maka peningkatan upah minimum tidak terlalu menjadi persoalan karena pertumbuhan itu sendiri akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat upah yang berlaku sama dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang hilang karena kebijakan kenaikan upah minimum. Namun, dalam iklim pertumbuhan ekonomi rendah seperti yang dialami Indonesia sekarang ini, kenaikan tinggi pada upah minimum kemungkinan besar akan mempunyai dampak yang merugikan bagi sebagian besar tenaga kerja di Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin.[11]



5) Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Peraturan di Tingkat Pusat dan Daerah”

Demonstrasi dari masyarakat atas suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, sudah menjadi kejadian yang biasa dilihat dan didengar oleh masyarakat di Indonesia. Dalam pemerintah orde lama dan orde baru, ketidakpuasan masyarakat yang digelar dalam bentuk demonstrasi masih belum terlihat merata di seluruh Indonesia. Ketidaktahuan informasi mengenai hak-hak masyarakat sendiri saat orde lama, dan kebijakan represif terhadap hak-hak masyarakat saat orde baru, menjadi alasan kurang begitu maraknya ketidakpuasan masyarakat dalam bentuk demontrasi. Keadaan saat ini, pasca jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, masyarakat semakin “berani” menuntut hak-haknya, meski seringkali demonstrasi tersebut terlihat salah kaprah dengan bertindak merusak benda-benda milik sesama masyarakat sendiri.

Namun pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, harus berintrospeksi atas keadaan-keadaan yang semakin sering memperlihatkan adanya ketidakpuasan masyarakat. Salah satu masalahnya adalah belum memadainya produk perundangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang dapat mendukung terlaksananya partisipasi masyarakat dalam setiap proses lahirnya kebijakan. Untuk memecahkan masalah ini perlu dilakukan pembaruan mekanisme pembuatan kebijakan pusat dan daerah. Pendekatan strategis yang dapat dilakukan adalah membentuk peraturan pusat dan daerah yang mengatur mekanisme pembuatan kebijakan pusat dan daerah yang partisipatif.

Partisipasi masyarakat diartikan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat.[12] Partisipasi juga dapat berarti “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Masyarakat miskin dapat memberikan pendapatnya mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi dalam memberdayakan dirinya sendiri. Partisipasi masyarakat tersebut dapat ditunjukkan dalam dengar pendapat dalam perumusan peraturan di tingkat pusat dan daerah.

Hingga saat ini, sudah banyak peraturan di tingkat pusat dan daerah, yang mengatur mengenai rapat dengar pendapat dengan masyarakat. Musyawarah perencanaan pembangunan tingkat nasional maupun daerah, merupakan salah satu dari contoh pengaturan mengenai dengar pendapat dengan masyarakat. Namun ketika suatu peraturan disahkan atau hendak disahkan, seringkali timbul gejolak ketidakpuasan di masyarakat. Mengenai ini, salah satu Ketua DPRD tingkat Propinsi menyatakan “kebanyakan media massa hanya melaporkan proses penetapan perda dalam sebuah sidang paripurna. Sebagian besar anggota digambarkan hanya duduk santai mendengarkan wakil fraksinya menyampaikan pendapat akhir fraksi. Padahal, proses perumusan perda amat kompleks. Selain menyangkut substansi materi yang penting, perumusan melewati tahapan pembahasan yang panjang.”[13]

Mungkin partisipasi masyarakat, dalam bentuk dengar pendapat, masih belum sepenuhnya tercapai atau dilaksanakan hanya sekedar formalitas, karena seringkali terlihat juga bahwa hanya sedikit sekali anggota legislatif yang menghadiri rapat-rapat pembahasan suatu peraturan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan keadaan begitu, slogan partai politik, melalui wakil-wakilnya yang menjadi anggota legislatif, untuk ”memberdayakan masyarakat miskin”, sulit tercapai melalui dengar pendapat dalam perumusan peraturan di tingkat nasional maupun daerah. Partisipasi masyarakat sendiri minimal harus memenuhi mekanisme:

1) penyempurnaan informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur pelibatan masyarakat;

2) tanggapan terhadap aspirasi masyarakat;

3) hasil akomodasi aspirasi masyarakat; dan

4) keberatan[14]



6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah”

Mencuatnya persengketaan antara warga Meruya Selatan (Jakarta Barat) dengan PT Portanigra di tahun 2007 menandakan bahwa pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah masih menjadi masalah yang pelik. Masih banyak daerah lainnya yang juga mempunyai masalah persengketaan tanah. Untuk di daerah lainnya, seringkali yang menjadi korban adalah rakyat kecil, para petani hanya berusaha mencari nafkah memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk diri sendiri maupun keluarga. Hal tersebut terjadi dalam sengketa tanah di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga pada tahun 2007 ini.

Laporan yang diperoleh PAH I DPD mencatat, hampir semua propinsi memiliki masalah yang sama, yakni tanah-tanah yang dikuasai TNI telah menimbulkan kecemasan masyarakat, di antaranya para petani, karena proses peralihan hak penguasaan tanah tidak tuntas. Pada waktu lalu, penguasaan dan pemilikan tanah ilakukan dengan cenderung represif, sehingga secara terpaksa terjadi pengalihan hak. Petani merasa, sebenarnya dia tidak tulus mengalihkan hak. Hanya kondisi dan situasi pada waktu itu memang tidak seperti sekarang.[15] Orde Baru dianggap bertanggung-jawab atas terjadinya masalah penguasaan dan pemilikan tanah. Menurut Prof. Koesnadi Harjasumantri, selama kurun 32 tahun ini, kasus tanah tidak terjadi sepuluh atau duapuluh kali, bisa ratusan bahkan barangkali ribuan, dan dalam setiap kasus tersebut, yang ujung-ujungnya jadi korban rakyat juga.[16]

Masih menurutnya pula, bahwa sejak 38 tahun yang lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menggantikan menggantikan Agrarische Wet yang dibuat pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1870. Dengan orientasi yang kuat pada kepentingan masyarakat banyak, undang-undang ini mengatur secara spesifik mengenai hak-hak penguasaan dan pemilikan tanah. Undang-undang tersebut sudah cukup baik dalam segi isi, sehingga tidak perlu diutak-utik dulu.

Meski demikian, undang-undang yang sudah berumur 38 tahun tersebut dapat saja diganti dengan yang baru, misalnya, dengan alasan agar rakyat lebih mempunyai akses terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dengan berdasarkan ide landreform. Undang-undang tersebut perlu menjadi paket reformasi karena konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah kini ada pada kelompok tertentu, terutama dari kalangan konglomerat di masa orde baru, dan bahkan “mafia tanah”[17]. Namun landreform sepertinya sulit diterapkan di Indonesia, karena kesulitan teknis hukum, kondisi sosial, politik dan ekonomi yang tidak mendukung, serta tidak cukupnya tanah -yang tersedia untuk dibagikan pada para petani.[18] Alasan lainnya, sudah ada perubahan konstitusi di masa tahun 1999 – 2004, sehingga undang-undang tersebut perlu menyesuaikan dengan semangat pembaruan bahwa pemerintah wajib menyejahterakan rakyatnya yang terwujud melalui perubahan konstitusi tersebut.


7) Pemerataan Hasil Pendapatan Pemerintah Pusat dan Daerah bagi Masyarakat”

Tujuan Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara adil dan merata. Dalam kerangka pembangunan nasional, masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, sebagai obyek pembangunan diharapkan untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan baik di bidang ekonomi, sosial, maupun bidang-bidang pembangunan lainnya yang telah dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun regional.

Implementasi otonomi daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas serta potensi yang dimiliki. Wewenang yang lebih luas telah diberikan secara legal untuk memanfaatkan berbagai sumber daya baik dari aspek administrasi, kelembagaan maupun finansial. Melalui kewenangan tersebut diharapkan pemerintah daerah mampu menyusun suatu model perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan dari pembangunan tersebut di atas dapat tercapai.

Salah satu keluhan pembangunan yang sering dibicarakan bahkan dirasakan sampai lapisan masyarakat bawah adalah bahwa hasil-hasil pembangunan, yang tercermin dalam hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah, tidak bisa di nikmati secara merata. Hal inilah yang biasa disebut ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, dan lebih lanjut apabila tidak dicegah secara cermat akan mengarah kepada timbulnya kecemburuan sosial. Dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan sosial ekonomi yang terjadi selama ini, penanggulangan ketimpangan pendapatan di masyarakat tidak saja penting dan perlu ditinjau dari sudut pertimbangan moral, tetapi mendesak pula untuk ditinjau dari ancaman ketegangan sosial atau kecemburuan sosial yang terselubung didalamnya.

Dalam rangka pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali diikuti dengan kenaikan atau membesarnya tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat (semakin tidak merata). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang merupakan target dari pembangunan, tetapi kadang pemerataan hasil pembangunan terlupakan sehingga dibalik pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu juga menimbulkan kemiskinan pada sebagian masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi lebih berarti jika diikuti pemerataan hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Berbagai kebijakan ekonomi untuk peningkatan produksi akan lebih berarti jika manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas, terutama masyarakat miskin. Oleh karena itu, orientasi pemerataan hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah bagi masyarakat seharusnya menjadi muara dari seluruh kegiatan perekonomian suatu daerah.

Orientasi pemerataan tersebut, seharusnya tercermin juga dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk menggendalikan kegiatan perekonomian yang memang cenderung menjadikan ketimpangan masyarakat kaya dan miskin. Kepala pemerintah pusat dan daerah dapat berperan sebagai “manajer” yang membuat kebijakan yang:

1) mengakui hak-hak hukum (legal rights) yang merupakan penjabaran dari hak ekonomi-sosial-budaya masyarakat dan hak sipil-politik masyarakat;

2) meningkatkan kesadaran hukum dan hak-hak dasar masyarakat guna menghindari tertutupnya akses terhadap sumber daya ekonomi;

3) membentuk wadah dan prosedur untuk mendapatkan legal remedies (pemulihan hak) bagi mereka yang dilanggar haknya sehingga memperparah kemiskinan.[19]


8) Jaminan Keamanan bagi bagi Masyarakat”

Dalam perkembangan perumusan “keamanan”, lingkup keamanan yang semula hanya keamanan negara serta keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tersebut di dalam Pasal 30 UUD 1945, menjadi lebih rinci dengan penyebutan “keamanan nasional”. Keamanan nasional dirumuskan dengan:

1) fungsi pemerintahan yang diselenggarakan untuk menjamin tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjaimnnya keamanan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, pri kehidupan rakyat, masyarakat dan pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2) kondisi keamanan sebagian atau seluruh wilayah negara.[20]

Perumusan “keamanan nasional” sebagai fungsi pemerintahan tersebut terbagi ke dalam fungsi keamanan insani, keamanan publik, keamanan negara dan pertahanan negara.[21] Sehubungan dengan sub tema “keamanan bagi masyarakat”, fungsi keamanan insani dan fungsi keamanan publik menjadi penting untuk ditelaah. Keamanan insani diartikan sebagai fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan penegakan hak-hak dasar setiap warga negara, sedangkan keamanan publik adalah fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan penegakan, pemeliharaan, dan pemulihan keselamatan masyarakat, serta keamanan dan ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Sumber: http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Opini&op=detail_opini&id=164

FAKULTAS HUKUM UNSYIAH

Fakultas ini semula bernama Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, didirikan pada tanggal 21 Juni 1961, dengan tiga jurusan: Pidana, Perdata, dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat. Sekarang Fakultas Hukum Unsyiah mendalami hukum secara keseluruhan. Fakultas Hukum didirikan untuk membantu masyarakat dalam bidang penyuluhan dan bantuan hukum.

Prospek & Potensi

Jumlah mahasiswa baru : 467 orang
Jumlah mahasiswa terdaftar : 1.545 orang
Lulusan tahun 2001/2002 : 88 orang
Jumlah Jurusan/Prodi : 1 Jurusan 1 buah Prodi
Dosen S1: S2: S3 : : 22:65:6 orang
Tenaga Administrasi : : 28 orang
Guru Besar : : 4 orang
Laboratorium : : 0 buah

Pimpinan Struktural Fakultas
Dekan : Mawardi Ismak, SH. M.Hum
PD I : M. Daud Yoesoef, SH. M.H
PD II : Riza Nizarli, SH, M.H
PD III : Dr. Iskandar Agam, SH. M.H
PD IV : Saifuddin, SH. MA

Investasi Membutuhkan Revitalisasi Peran Advokat



* Aceh Miliki Kantor Lawfirm

BANDA ACEH - Untuk menjawab dinamika hukum dan sosial yang berkembang begitu cepat dan pesat di Aceh, seiring dengan pembangunan kembali daerah ini pascatsunami dan konflik, sangat dibutuhkan revitalisasi peran advokat.

“Pembangunan kembali Aceh menyebabkan roda ekonomi dan iklim investasi semakin baik. Jasa advokat dan konsultan hukum bagi percepatan roda ekonomi dan investasi merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda,” kata Dekan Fakultas Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail SH MHum dalam orasi ilmiahnya pada acara peresmian Kantor JK Farza Lawfirm, Banda Aceh, Senin (25/8) malam.

Menurut Mawardi, kebutuhan terhadap jasa advokat dan konsultan hukum di segala sektor semakin dirasakan, terutama oleh para pelaku bisnis dan investor yang ingin membangun Aceh. Seorang investor yang ingin menamamkan modal di Aceh, baik investasi bisnis maupun sosial dalam konteks bantuan kemanusiaan, berdasarkan pengalamannya, membutuhkan legal opinion (pendapat hukum) agar investasi mereka aman. “Di sinilah perlu peran seorang advokat,” ujarnya.

Selain itu, tambah Mawardi, para investor membutuhkan perlindungan dalam menjalankan investasinya di Aceh, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Seorang lawyer, adalah punya otoritas dan kapasitas untuk memberikan perlindungan bagi investasi dan bisnis.

Mawardi lebih jauh menyebutkan, berdasarkan pengalaman empiris dirinya selaku akademisi dan praktisi hukum. Kualitas advokat Aceh tidak kalah jika dibandingkan dengan advokat dari luar negeri dan nasional. “Yang harus dilakukan adalah, bagaimana kualitas itu ditingkatkan, diikuti dengan peningkatan capacity building, sehingga perannya lebih maju dari apa yang selama ini ada,” harapnya.

Sementara itu, J Kamal Farza (Managing Partners Farza Lawfirm) menyebutkan, kantornya dibangun adalah dengan semangat “pengabdian tanpa akhir”, sebagai wujud tanggung jawab pada keberlangsungan peradaban sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial. “Inisiasi mendirikan kantor ini tidak lain merupakan interpretasi utuh kami terhadap tanggung jawab profesi dan wujud pengabdian advokat terhadap keberlangsungan peradaban ini,” ujarnya.

“Di mana sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia kita diamanahkan untuk mengawal paradaban ini menuju masyarakat yang khusnul khatimah,” tambah Kamal Farza.

Dalam pemahaman kontekstual hari ini, menurut Kamal, advokat sebagai pilar penegakan hukum dan keadilan, sudah saatnya mengarahkan diri pada pengembangan kapasatis dan terus-menerus melakukuan evolusi diri seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat yang berkeadilan.

“Sudah saatnya para pegiat profesi advokat tampil dengan perfoma yang utama, bukan sebagai pelengkap-tradisional dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Firma Hukum Farza, merupakan kantor pertama di Aceh yang didirikan dengan strategi nonlitigasi menjadi prioritas. Biasanya, sebuah kantor advokat banyak berkiprah di dalam pengadilan, sebagai salah satu strategi dalam memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang membutuhkan pembelaan.

Kamal mengatakan, perlindungan hukum yang maksimal akan dapat dilakukan dengan sepenuhnya membangun kesadaran hukum sebagai instrumen menuju keadilan. Oleh karena itu, imbuhnya, dalam praktik perlindungan hukum, kantornya akan mengedepankan penyelesaian permasalahan hukum secara musyawarah atau alternative dispuite resolution (ADR).

“Penyelesaian lewat jalur peradilan, meskipun menjadi concern kantor ini, tetapi bukan menjadi prioritas kami. Kami akan lebih fokus pada upaya memberikan proteksi agar klien kami tidak mengalami masalah, baik dalam urusan bisnis, maupun dalam tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan,” demikian J Kamal Farza yang tidak lagi bekerja di BRR NAD-Nias. (sup)

Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=54034&rubrik=7&kategori=1&topik=22

POLITIK HUKUM DALAM EKONOMI SYARIAH

Oleh : Agustianto

Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.
Perkembangan perbankan menurut data Bank Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank syariah sangat terbatas di mana hanya ada sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indoensia dengan beberapa kantor cabang, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611 (data Mei 2006). Demikian pula lembaga asuransi syariah, perkembangannya di Indonesia merupakan yang paling cepat di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang memiliki 34 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah. Jumlah BMT juga telah melebihi dari 3.800 bauh yang tersebar di seluruh Indonesia.
Meskipun perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah demikian cepat, namun dari sisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih jauh tertinggal, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa bisnis (hukum dagang) syariah.

Urgensi Undang-Undang
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.
Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional maka hukum di Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu:
 kepastian (predictability),
 stabilitas (stability),
 keadilan (fairness),
 pendidikan (education)
 kemampuan SDM di bidang hukum (special abilities of the lawyer).

Kebutuhan akan kepastian fungsi hukum besar sekali, khususnya bagi negara-negara dimana sebagian besar rakyatnya baru pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional.Hukum harus dapat menjamin investasi asing, bagaimana penyelesaian yang adil dan jaminan hukum terhadap hasil yang mereka peroleh.

Stabilitas adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat sehingga akan berdampak timbulnya stabilitas. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhan perundang-undangan yang mentranformasikan nilai-nilai syariah sebagai konsekuensi dari tumbuhnya kesadaran beragama dari masyarakat untuk melaksanakan ajaran agamanya menjadi faktor penting untuk diperhatikan sebagai bagian dari upaya pertumbuhan ekonomi

Keadilan (fairness) adalah bagaimana hukum menjamin adanya perlindungan, perlakuan yang sama dan adanya standar tingkah laku pemerintah untuk memelihara mekanisme pasar dan pencegahan ekses-ekses birokratis yang berlebihan. Ketiadaan standar keadilan merupakan masalah terbesar yang dihadapi negara-negara berkembang. Dalam kurun waktu yang lama, hal tersebut bisa menjadi penyebab utama hilangnya legitimasi pemerintah

Pendidikan berkaitan erat dengan pemberian tujuan, yaitu kemampuan hukum sebagai suatu kekuatan pembentuk kebiasaan-kebiasaan (habits) yang dapat memperkuat kebiasaan lama atau meciptakan respon baru dan kondisi-kondisi tertentu. Di Indonesia, hukum (undang-undang) belum dapat sepenuhnya berfungsi pendidikan, atau melakukan fungsi social change. Yang diharapkan di Indonesia adalah bagaimana hukum dapat mendisiplinkan masyarakat dan menciptakan lingkungan usaha yang sehat.

SDI (sumber daya Insani) bermakna bahwa sarjana hukum, memainkan peranan yang penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Maka dalam rangka mendorong pemulihan perekonomian dituntut adanya kemampuan khusus para sarjana hukum untuk menjalankan hukum tersebut.

Pengertian Politik Hukum
Menurut Moh.Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Dengan demikian, politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Politik hukum dapat dikatakan juga sebagai jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu, antara lain memagari hukum dengan program legislasi nasional (Prolegnas).
Politik Hukum Ekonomi Syariah
Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
 Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
 Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
 Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).

Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
 Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu

Sebenarnya, melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional

Keharusan tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negara

Menurut Jimly Asshiddiqie, Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma.
Dalam konteks sistem hirarki norma, perlu dibedakan antara pengertian syariat dengan fiqh dan dengan qanun. Menurut logika sistem hirarki itu, maka dalam prinsip pertama, hukum suatu negara berisi norma-norma yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang terkandung di dalam syariat agama-agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan dalam prinsip yang kedua, norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran atau elaborasi normatif ajaran-ajaran syari’at agama yang diyakini oleh warga negara.

Perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.
Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).
Kedua UU tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system.. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling
Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah.
Kini tengah dibahas di DPR RUU Tentang Perbankan Syariah yang diprakarsai oleh DPR RI. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah nanti akan semakin meneguhkan dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam politik hukum nasional, dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuan perbankan syariah.
Program Legislasi Nasional
Politik hukum yang mengakomodir pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas menjadi penting karena menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat. UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undagan (Pasal 15 [1]) menggariskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.
Berdasarkan pertimbangan, arah dan penentuan proglenas telah ditrapkan prioritas RUU 2005 sebanyak 55 buah RUU dan RUU 2006 sebanyak 43 RUU. RUU Perbankan Syariah menjadi program RUU prioritas 2005 yang sebenatar lagi segera disahkan DPR.
Selain itu, untuk membanun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, maka Proglenas perlu mendukung legislasi nasional ekonomi syariah dengan mengagendakan dan memberikan prioritas perundang-undangan yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang berkembang, seperti asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, pasar modal syariah yang tercakup di dalamnya obligasi dan reksadana syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah.
Penyusunan RUU-RUU tersebut dapat diprakarsai oleh DPR maupun pemerintah sesuai dengan prosdur dan mekanisme yang berlaku. Dalam upaya ini peranan ahli ekonom Islam melalui Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat dibutuhkan untuk berperan memberikan konstribusinya dalam mewujudkan agenda legislasi nasional ekonomi syariah tersebut.

www.ekonomisyariah.net/index.php?page=Pustaka:DownloadPage&file=userfile_POLITIK%20HUKUM.doc