Oleh: Komisi Hukum Nasional
04 September 2007
Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 3 ayat berikutnya, merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial. Pasal tersebut juga bermakna kewajiban negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk melakukan usaha yang maksimal guna menyejahterahkan masyarakatnya.
Dengan berdasarkan ketentuan di atas dan undang-undang berikutnya yang telah disahkan oleh DPR, seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), maka negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin.. Meskipun kriteria miskin dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, namun perubahan kriteria tersebut, seharusnya tidak menjadikan hambatan bagi pemerintah untuk memelihara hak-hak fakir miskin.[1]
Berdasarkan pertimbangan tersebut, seyogianya fakir miskin dipelihara hak-haknya oleh negara (negara diwakili oleh pemerintah). Termasuk hak-hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Pemerintah perlu juga merenungkan kembali apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin mendapatkan hak-haknya. Sejauh yang kita alami sejak lama, berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin, telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam kerangka mendapatkan keadilan di luar pengadilan, pemerintah telah lama memprogramkannya di bidang kesehatan dan pendidikan. Kedua hal itu merupakan modal bagi masyarakat miskin untuk memberdayakan dirinya sendiri. Oleh karenanya, dicanangkan program pembangunan puskesmas di setiap kelurahan dan program wajib belajar 9 tahun pada masa orde baru, namun seiring perjalanan waktu, angka kemiskinan terus meningkat.
Menurut standar 1996, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sementara pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.[2] Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006, jumlah penduduk miskin adalah 39,05 juta (17,75%).[3]
Krisis ekonomi yang berkelanjutan dan program pemberdayaan masyarakat miskin yang tidak terencana dengan baik menjadi sebab utama peningkatan angka kemiskinan. Pelajaran berharga dari masa orde baru ialah kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Kebijakan pada waktu itu menekankan pada terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang luas. Kelompok-kelompok usaha tersebut diharapkan dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect.
Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut gagal melakukan pemerataan. Yang terjadi ialah pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998. Lebih parah lagi, kelompok-kelompok tersebut diduga kuat terkait korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang tidak kunjung penyelesaiannya hingga kini. Kerugian negara akibat BLBI semakin memperberat beban masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Kecenderungan negara berkembang, termasuk Indonesia, ialah banyaknya masyarakat miskin di pedesaan. Peningkatan angka kemiskinan berdasarkan data tersebut di atas, menjadikan masyarakat miskin di pedesaan menjadi lebih menderita. Hal ini diperparah dengan penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di Indonesia yang telah sekian lama berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal (musyawarah, pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki dan ketimpangan struktur kekuatan di tingkat lokal.
Dalam kerangka mendapatkan keadilan di dalam pengadilan, penyelesaian secara formal melalui lembaga hukum formal – polisi, jaksa dan pengadilan bias terhadap kekuasaan dan terasing dari masyarakat. Akibatnya, orang miskin di pedesaan lebih suka menekan masalah dan rasa ketidakadilan yang dialami daripada berupaya memperbaiki situasi.
Pemerintah yang telah berganti pola dari pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah), perlu menangkap dan merealisasikan peluang-peluang percepatan pemberdayaan masyarakat miskin, sebagai bagian dari hasil perenungan kembali apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin mendapatkan hak-haknya. Pemberdayaan masyarakat miskin tersebut akan berakibat langsung terhadap penurunan angka kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat miskin di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang memberdayakan masyarakat miskin, baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah.
Pemerintah daerah sangat mungkin melakukan pemberdayaan masyarakat miskin karena menghadapi jarak yang lebih dekat dengan masyarakat miskin itu sendiri di daerahnya masing-masing. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut juga berada di tangan pemerintah daerah, yang dalam hal ini ialah pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten atau kota, serta pemerintah kecamatan, kelurahan/desa. Pemerintah daerah harus memahami bahwa upaya penurunan angka kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah yaitu “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”.[4]
Pemerintah daerah wajib mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, yang mana masyarakat dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Dengan pola partisipatif tersebut, proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, akan berada pada jalur yang tepat pada saatnya nanti. Pemerintah pusat wajib konsisten untuk menjaga arah otonomi yang memberdayakan masyarakat miskin. Dalam kerangka di bidang hukum, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib membentuk program-program pemberdayaan masyarakat miskin, dengan mengkondusifkan akses keadilan dalam hal sebagai berikut:
1) bantuan hukum bagi masyarakat miskin;
2) kebebasan memperoleh informasi yang bersifat umum;
3) pelayanan administrasi pemerintahan yang bebas korupsi, efisien dan transparan;
4) pengaturan upah minimum regional bagi tenaga kerja;
5) dengar pendapat dalam perumusan peraturan-peraturan di tingkat pusat dan daerah;
6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah;
7) pemerataan Hasil Pendapatan Pusat dan Daerah
8) jaminan Keamanan bagi Semua Anggota Masyarakat
1) Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin
Seharusnya pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri selalu menyadari bahwa bantuan hukum sebenarnya dapat merupakan sarana untuk melindungi dan menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat sebagai pencari keadilan. Oleh karena itu pemenuhan hak atas bantuan hukum oleh pemerintah maupun organisasi advokat atau advokat itu sendiri, diharapkan membuka jalan menuju akses keadilan yang terbuka luas bagi masyarakat pencari keadilan.
Dalam lingkup kesejahteraan sosial, maka ketiadaan sumber keuangan yang cukup, ketiadaan penguasaan informasi, ketiadaan pengetahuan dan pendidikan formal, ditambah dengan ketiadaan dukungan bantuan hukum yang maksimal untuk memenuhi hak-hak masyarakat miskin, menjadikan masyarakat miskin lebih sulit untuk memberdayakan dirinya sendiri, misalnya, masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan hak-haknya atas kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan sedangkan pemenuhan hak-haknya tersebut menjadi modal untuk memberdayakan dirinya berubah menjadi sejahtera.
Dalam hal itu, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan suatu upaya untuk menerangkan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin agar terpenuhi kebutuhan subsidinya oleh pemerintah. Subsidi pemerintah sangat dibutuhkan agar biaya kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan menjadi terjangkau.
Dalam lingkup sistem peradilan, pemberian bantuan hukurn, terutama ditujukan bagi masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum tersebut, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang besar bagi dinamika masyarakat, misalnya, dengan pemberian bantuan hukum atas suatu kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kasus penggusuran tanah dan/atau bangunan di atasnya yang dimiliki masyarakat, diharapkan dapat rnenjadi contoh bagi rnasyarakat bahwa dalarn kasus tersebut, ada penanganan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk menyadari dan memperbaiki kekeliruannya.
Dengan melihat hal tersebut di atas, maka bantuan hukum minimal mempunyai dua ruang lingkup yaitu:
1) Lingkup kesejahteraan sosial, dengan isu pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat miskin, terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban pemerintah seperti kebutuhan atas kesehatan, pendidikan, air, tanah dan perumahan.
2) Lingkup sistem peradilan, dengan pemenuhan hak-hak masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau masyarakat yang berlawanan dengan pemerintah.
2) Kebebasan Memperoleh Informasi Publik”
Banyak cerita mengenai bagaimana masyarakat miskin tidak mengetahui informasi yang seharusnya mereka dapatkan dari pemerintah. Salah satunya adalah ketika konflik sosial pecah di berbagai daerah di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Ratusan ribu keluarga lari dari tempat tinggal mereka dan jadi pengungsi. Mereka yang terpaksa pindah dari daerah asal berhak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, khususnya Departemen Sosial. Akan tetapi laporan dari lapangan menunjukkan bahwa bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke para pengungsi.[5] Begitu pun juga cerita mengenai korban banjir yang cukup banyak terjadi di Jakarta, yang tidak tahu informasi mengenai persisnya bantuan yang diberikan pemerintah, terutama pemerintah DKI Jakarta. Akibatnya warga mengaku tidak menerima bantuan.[6] Ketidaktahuan informasi seperti itu juga sering terdengar dalam masalah pengurusan surat-surat tanah, perijinan, dan lain sebagainya.
Kesamaan yang selalu terjadi dalam setiap kejadian yang merugikan masyarakat miskin seperti tersebut di atas ialah, tidak ada informasi yang jelas tentang apa yang menjadi hak pengungsi atau korban banjir, yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Juga tidak terdapat kejelasan bagaimana memperoleh sruat-surat resmi dan perijinan, berapa besar biayanya yang resmi, siapa yang bertanggung jawab dan kepada siapa dapat mengadu apabila terjadi penyimpangan.
Pemerintah memang belum serius untuk mewujudkan hak-hak masyarakat atas informasi publik. Sangat wajar jika terjadi keluhan masyarakat atas pemerintah, dan bahkan “wajar” jika terjadi penyelewengan karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang menjadi haknya, sehingga masyarakat tidak dapat mengawasi dengan cermat “tindak-tanduk” pemerintah. Hal ini jelas merugikan masyarakat, terlebih masyarakat miskin.
Dalam kerangka yang cukup penting mengenai informasi publik, APBD yang sangat berperan besar dalam memberdayakan masyarakat pun masih dianggap merupakan informasi yang sangat rahasia dan sulit untuk diberikan kepada masyarakat, meskipun masyarakat memintanya dengan resmi. Sementara, seperti diketahui secara umum, APBD disahkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah tentu menjadi informasi publik yang berhak diketahui oleh masyarakat.
Kebebasan memperoleh informasi publik masih menjadi hal yang sangat asing bagi sebagian besar aparatur pemerintah baik pusat maupun daerah. Ini merupakan hal yang bertentangan hak asas manusia yang bersifat fundamental dan universal untuk memperoleh informasi publik. Hal ini berarti setiap individu punya hak, tanpa kecuali, untuk memperoleh informasi publik. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pemerintah memiliki kewajiban membuka informasi publik. Kebebasan memperoleh informasi publik ini mendapat jaminan secara internasional, terutama dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB dimana disebut bahwa “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide melalui media apapun, dan tak boleh dihalangi.”
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa dalam negara demokrasi seperti Indonesia, penyelenggaraan kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah, harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada rakyat. Pertanggungjawaban tersebut sering diistilahkan dengan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan kebutuhan karena dengannya masyarakat diarahkan menuju ke tata pemerintahan yang baik. Masyarakat pun mendapatkan jaminan hak asasi manusia dengan adanya akuntabilitas itu. Untuk itu, pemerintah yang terbuka (open government) merupakan salah satu fondasinya. Dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan informasi publik adalah suatu keharusan. Dengannya pemerintahan dapat berlangsung transparan, dan partisipasi masyarakat terjadi secara penuh dalam seluruh proses pengelolaan pemerintahan. Proses pengelolaan itu termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya masyarakat sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.[7]
3) Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi, Efisien dan Transparan”
Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai: kewajiban yang diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah guna memenuhi hak-hak warga masyarakat. Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah: “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Lebih lanjut, berdasarkan keputusan tersebut di atas, pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan Barang dan Kelompok Pelayanan Jasa. Makna dari masing-masing kelompok pelayanan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Kelompok Pelayanan Administratif: yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administrasi misalnya: penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:
a) status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);
b) status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, dan lain-lain.);
c) status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dan lain-lain.).
2) Kelompok Pelayanan Barang: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dan lain-lain.);
3) Kelompok Pelayanan Jasa: pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan post, dan lain-lain.).
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat miskin, pemerintah baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin pada pelayanan publik yang bebas korupsi, efisien dan transparan. Namun dari penelitian yang dilakukan KHN pada tahun 2004 lalu, pemerintah masih belum mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan itu. Hal itu dapat dilihat dari tiga gejala utama yang cukup mengkhawatirkan dalam pelayanan publik, yaitu:
1) rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi masyarakat/anggota masyarakat;
2) birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dan sebagainya.
3) rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (public complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, peraturan perundang-undangan yang tampaknya dipersiapkan sebagai ‘umbrella regulation’ di bidang pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik (public complaints, public governance standards and procedure).[8]
4) Pengaturan Upah Minimum Regional bagi Tenaga Kerja
Masalah upah mendominasi hubungan antara tenaga kerja dengan perusahaan.[9] Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mulai efektif diimplementasikan pada bulan Januari 2001, Indonesia mulai memasuki masa penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di tingkat propinsi, kabupaten, dan kota.
Pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Seiring digantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah pun mungkin akan memenuhi tuntutan masyarakatnya agar memberlakukan pendekatan yang lebih populis dalam kebijakan upah minimum regional, terlebih dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung.
Bersamaan dengan semakin meningkatnya kecenderungan pemerintah daerah untuk semakin memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan sosial sekaligus meraih simpati masyarakatnya, maka terdapat kemungkinan terjadinya dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap penyerapan berbagai jenis tenga kerja, terutama tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin.
Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum, maka terdapat kemungkinan bahwa:
1) perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan tenaga kerja terampil yang dapat disebut sebagai tenaga kerja “kerah putih”. Perusahaan pun dapat mengubah proses produksi yang banyak menyerap tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai, dengan proses produksi yang lebih padat modal (menggunakan teknologi tinggi) dan lebih menuntut keterampilan. Hal ini berarti proporsi tenaga kerja “kerah putih” akan lebih tinggi terserap seiring pemanfaatan teknologi tinggi, atau;[10]
2) perusahaan lebih memilih menutup usahanya karena beban biaya yang bertambah tinggi ditambah “pungutan liar” yang terus menjadi beban perusahaan dan tidak dapat diberantas oleh pemerintah.
Dengan demikian, upah minimum dapat menguntungkan sebagian tenaga kerja tetapi merugikan sebagian lainnya. Para tenaga kerja “kerah putih” yang berketerampilan memadai dan dapat mempertahankan pekerjaannya di perusahaan, akan mendapat keuntungan dari peningkatan upah minimum. Namun, para tenaga kerja yang keterampilannya tidak memadai yang umumnya merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin, akan mudah kehilangan pekerjaan. Para tenaga kerja tersebut sebagian besar merupakan tenaga kerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah.
Jika Indonesia mempunyai iklim pertumbuhan ekonomi tinggi dan bebas ”pungutan liar” terhadap perusahan-perusahaan, maka peningkatan upah minimum tidak terlalu menjadi persoalan karena pertumbuhan itu sendiri akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat upah yang berlaku sama dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang hilang karena kebijakan kenaikan upah minimum. Namun, dalam iklim pertumbuhan ekonomi rendah seperti yang dialami Indonesia sekarang ini, kenaikan tinggi pada upah minimum kemungkinan besar akan mempunyai dampak yang merugikan bagi sebagian besar tenaga kerja di Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin.[11]
5) Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Peraturan di Tingkat Pusat dan Daerah”
Demonstrasi dari masyarakat atas suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, sudah menjadi kejadian yang biasa dilihat dan didengar oleh masyarakat di Indonesia. Dalam pemerintah orde lama dan orde baru, ketidakpuasan masyarakat yang digelar dalam bentuk demonstrasi masih belum terlihat merata di seluruh Indonesia. Ketidaktahuan informasi mengenai hak-hak masyarakat sendiri saat orde lama, dan kebijakan represif terhadap hak-hak masyarakat saat orde baru, menjadi alasan kurang begitu maraknya ketidakpuasan masyarakat dalam bentuk demontrasi. Keadaan saat ini, pasca jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, masyarakat semakin “berani” menuntut hak-haknya, meski seringkali demonstrasi tersebut terlihat salah kaprah dengan bertindak merusak benda-benda milik sesama masyarakat sendiri.
Namun pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, harus berintrospeksi atas keadaan-keadaan yang semakin sering memperlihatkan adanya ketidakpuasan masyarakat. Salah satu masalahnya adalah belum memadainya produk perundangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang dapat mendukung terlaksananya partisipasi masyarakat dalam setiap proses lahirnya kebijakan. Untuk memecahkan masalah ini perlu dilakukan pembaruan mekanisme pembuatan kebijakan pusat dan daerah. Pendekatan strategis yang dapat dilakukan adalah membentuk peraturan pusat dan daerah yang mengatur mekanisme pembuatan kebijakan pusat dan daerah yang partisipatif.
Partisipasi masyarakat diartikan sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat.[12] Partisipasi juga dapat berarti “memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Masyarakat miskin dapat memberikan pendapatnya mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi dalam memberdayakan dirinya sendiri. Partisipasi masyarakat tersebut dapat ditunjukkan dalam dengar pendapat dalam perumusan peraturan di tingkat pusat dan daerah.
Hingga saat ini, sudah banyak peraturan di tingkat pusat dan daerah, yang mengatur mengenai rapat dengar pendapat dengan masyarakat. Musyawarah perencanaan pembangunan tingkat nasional maupun daerah, merupakan salah satu dari contoh pengaturan mengenai dengar pendapat dengan masyarakat. Namun ketika suatu peraturan disahkan atau hendak disahkan, seringkali timbul gejolak ketidakpuasan di masyarakat. Mengenai ini, salah satu Ketua DPRD tingkat Propinsi menyatakan “kebanyakan media massa hanya melaporkan proses penetapan perda dalam sebuah sidang paripurna. Sebagian besar anggota digambarkan hanya duduk santai mendengarkan wakil fraksinya menyampaikan pendapat akhir fraksi. Padahal, proses perumusan perda amat kompleks. Selain menyangkut substansi materi yang penting, perumusan melewati tahapan pembahasan yang panjang.”[13]
Mungkin partisipasi masyarakat, dalam bentuk dengar pendapat, masih belum sepenuhnya tercapai atau dilaksanakan hanya sekedar formalitas, karena seringkali terlihat juga bahwa hanya sedikit sekali anggota legislatif yang menghadiri rapat-rapat pembahasan suatu peraturan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan keadaan begitu, slogan partai politik, melalui wakil-wakilnya yang menjadi anggota legislatif, untuk ”memberdayakan masyarakat miskin”, sulit tercapai melalui dengar pendapat dalam perumusan peraturan di tingkat nasional maupun daerah. Partisipasi masyarakat sendiri minimal harus memenuhi mekanisme:
1) penyempurnaan informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur pelibatan masyarakat;
2) tanggapan terhadap aspirasi masyarakat;
3) hasil akomodasi aspirasi masyarakat; dan
4) keberatan[14]
6) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah”
Mencuatnya persengketaan antara warga Meruya Selatan (Jakarta Barat) dengan PT Portanigra di tahun 2007 menandakan bahwa pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah masih menjadi masalah yang pelik. Masih banyak daerah lainnya yang juga mempunyai masalah persengketaan tanah. Untuk di daerah lainnya, seringkali yang menjadi korban adalah rakyat kecil, para petani hanya berusaha mencari nafkah memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk diri sendiri maupun keluarga. Hal tersebut terjadi dalam sengketa tanah di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga pada tahun 2007 ini.
Laporan yang diperoleh PAH I DPD mencatat, hampir semua propinsi memiliki masalah yang sama, yakni tanah-tanah yang dikuasai TNI telah menimbulkan kecemasan masyarakat, di antaranya para petani, karena proses peralihan hak penguasaan tanah tidak tuntas. Pada waktu lalu, penguasaan dan pemilikan tanah ilakukan dengan cenderung represif, sehingga secara terpaksa terjadi pengalihan hak. Petani merasa, sebenarnya dia tidak tulus mengalihkan hak. Hanya kondisi dan situasi pada waktu itu memang tidak seperti sekarang.[15] Orde Baru dianggap bertanggung-jawab atas terjadinya masalah penguasaan dan pemilikan tanah. Menurut Prof. Koesnadi Harjasumantri, selama kurun 32 tahun ini, kasus tanah tidak terjadi sepuluh atau duapuluh kali, bisa ratusan bahkan barangkali ribuan, dan dalam setiap kasus tersebut, yang ujung-ujungnya jadi korban rakyat juga.[16]
Masih menurutnya pula, bahwa sejak 38 tahun yang lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menggantikan menggantikan Agrarische Wet yang dibuat pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1870. Dengan orientasi yang kuat pada kepentingan masyarakat banyak, undang-undang ini mengatur secara spesifik mengenai hak-hak penguasaan dan pemilikan tanah. Undang-undang tersebut sudah cukup baik dalam segi isi, sehingga tidak perlu diutak-utik dulu.
Meski demikian, undang-undang yang sudah berumur 38 tahun tersebut dapat saja diganti dengan yang baru, misalnya, dengan alasan agar rakyat lebih mempunyai akses terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dengan berdasarkan ide landreform. Undang-undang tersebut perlu menjadi paket reformasi karena konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah kini ada pada kelompok tertentu, terutama dari kalangan konglomerat di masa orde baru, dan bahkan “mafia tanah”[17]. Namun landreform sepertinya sulit diterapkan di Indonesia, karena kesulitan teknis hukum, kondisi sosial, politik dan ekonomi yang tidak mendukung, serta tidak cukupnya tanah -yang tersedia untuk dibagikan pada para petani.[18] Alasan lainnya, sudah ada perubahan konstitusi di masa tahun 1999 – 2004, sehingga undang-undang tersebut perlu menyesuaikan dengan semangat pembaruan bahwa pemerintah wajib menyejahterakan rakyatnya yang terwujud melalui perubahan konstitusi tersebut.
7) Pemerataan Hasil Pendapatan Pemerintah Pusat dan Daerah bagi Masyarakat”
Tujuan Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara adil dan merata. Dalam kerangka pembangunan nasional, masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, sebagai obyek pembangunan diharapkan untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan baik di bidang ekonomi, sosial, maupun bidang-bidang pembangunan lainnya yang telah dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun regional.
Implementasi otonomi daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas serta potensi yang dimiliki. Wewenang yang lebih luas telah diberikan secara legal untuk memanfaatkan berbagai sumber daya baik dari aspek administrasi, kelembagaan maupun finansial. Melalui kewenangan tersebut diharapkan pemerintah daerah mampu menyusun suatu model perencanaan pembangunan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan dari pembangunan tersebut di atas dapat tercapai.
Salah satu keluhan pembangunan yang sering dibicarakan bahkan dirasakan sampai lapisan masyarakat bawah adalah bahwa hasil-hasil pembangunan, yang tercermin dalam hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah, tidak bisa di nikmati secara merata. Hal inilah yang biasa disebut ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, dan lebih lanjut apabila tidak dicegah secara cermat akan mengarah kepada timbulnya kecemburuan sosial. Dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan sosial ekonomi yang terjadi selama ini, penanggulangan ketimpangan pendapatan di masyarakat tidak saja penting dan perlu ditinjau dari sudut pertimbangan moral, tetapi mendesak pula untuk ditinjau dari ancaman ketegangan sosial atau kecemburuan sosial yang terselubung didalamnya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali diikuti dengan kenaikan atau membesarnya tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat (semakin tidak merata). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang merupakan target dari pembangunan, tetapi kadang pemerataan hasil pembangunan terlupakan sehingga dibalik pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu juga menimbulkan kemiskinan pada sebagian masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi lebih berarti jika diikuti pemerataan hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Berbagai kebijakan ekonomi untuk peningkatan produksi akan lebih berarti jika manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas, terutama masyarakat miskin. Oleh karena itu, orientasi pemerataan hasil pendapatan pemerintah pusat dan daerah bagi masyarakat seharusnya menjadi muara dari seluruh kegiatan perekonomian suatu daerah.
Orientasi pemerataan tersebut, seharusnya tercermin juga dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk menggendalikan kegiatan perekonomian yang memang cenderung menjadikan ketimpangan masyarakat kaya dan miskin. Kepala pemerintah pusat dan daerah dapat berperan sebagai “manajer” yang membuat kebijakan yang:
1) mengakui hak-hak hukum (legal rights) yang merupakan penjabaran dari hak ekonomi-sosial-budaya masyarakat dan hak sipil-politik masyarakat;
2) meningkatkan kesadaran hukum dan hak-hak dasar masyarakat guna menghindari tertutupnya akses terhadap sumber daya ekonomi;
3) membentuk wadah dan prosedur untuk mendapatkan legal remedies (pemulihan hak) bagi mereka yang dilanggar haknya sehingga memperparah kemiskinan.[19]
8) Jaminan Keamanan bagi bagi Masyarakat”
Dalam perkembangan perumusan “keamanan”, lingkup keamanan yang semula hanya keamanan negara serta keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tersebut di dalam Pasal 30 UUD 1945, menjadi lebih rinci dengan penyebutan “keamanan nasional”. Keamanan nasional dirumuskan dengan:
1) fungsi pemerintahan yang diselenggarakan untuk menjamin tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjaimnnya keamanan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, pri kehidupan rakyat, masyarakat dan pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2) kondisi keamanan sebagian atau seluruh wilayah negara.[20]
Perumusan “keamanan nasional” sebagai fungsi pemerintahan tersebut terbagi ke dalam fungsi keamanan insani, keamanan publik, keamanan negara dan pertahanan negara.[21] Sehubungan dengan sub tema “keamanan bagi masyarakat”, fungsi keamanan insani dan fungsi keamanan publik menjadi penting untuk ditelaah. Keamanan insani diartikan sebagai fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan penegakan hak-hak dasar setiap warga negara, sedangkan keamanan publik adalah fungsi pemerintahan dalam menyelenggarakan penegakan, pemeliharaan, dan pemulihan keselamatan masyarakat, serta keamanan dan ketertiban masyarakat melalui penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Sumber: http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Opini&op=detail_opini&id=164
Memalukan… Katanya Ekonomi Syariah, Kok Pakai Debt Collector
-
J Kamal Farza: Ini Tindakan Melawan Hukum
BANDA ACEH – J Kamal Farza, pengacara Razali, pemilik toko komputer
Simbadda di Jalan Pocut Baren yang ditodong d...
12 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar