Kamis, 28 Agustus 2008

PROFESIONALISME POLISI

(Catatan untuk HUT ke-61 Polri)
[ Oleh: Erwin Shiddiq | Alumni Fakultas Hukum Unsyiah]

Polri yang dilahirkan 61 tahun lalu (1 Juli 1946), diharapkan dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Polisi berfungsi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat yang beriringan dengan fungsi TNI. Pasca reformasi, Polri lepas dari ABRI. Paradigma Polisi berubah dari militer menjadi sipil. Fungsi dan perannya semakin ditingkatkan, umumnya difokuskan sebagai inti kekuatan kantibmas, mewujudkan keyamanan dan terciptanya ketertiban dalam masyrakat.

Mencermati paradigma fungsi dan peran yang diemban Polisi, apakah saat ini sudah sesuai. Apakah Polisi kita sudah profesional? Banyaknya penilaian miring atas perilaku anggota polisi dalam pelaksanaan tugas sebagai inti kekuatan Kamtibmas selama ini, citra itu tampaknya belum tercermin. Bahkan secara eksternal justru semakin buruk. Berbagai kasus yang dilakukan anggota Polisi, salah tangkap, tindakan main hakim sendiri, penembakan warga masyarakat, dan kasus-kasus arogansi oknum kepolisian di jalanan, membacking tindakan kejahatan, menunjukkan profesionalisme Polri belum mampu ditunjukkan. Inilah agaknya yang harus menjadi perenungan petugas kepolisian, terutama pempinan Kepolisian pada HUT ke-61 Polri kali ini.

Suatu ironi ketika masyarakat mengkomplin tindakan brutal petugas Polisi, dimana para petinggi Polri selalu menggunakan jawaban klasik, “itu ulah oknum”. Bukankan oknum polisi itu adalah bagian institusi Polri, dan dididik di lembaga kepolisian? Karenanya, sudah tidak masanya lagi jawaban “oknum” ditampilkan kalau ingin menegakkan hukum dan membangun citra kepolisian di mata masyarakat.

Justru masyarakat memandang sikap dan kebijakan pimpinan Polri adalah pembiaran atasannya, bahkan ikut dalam tindakan merusak citra Polisi itu sendiri.

Kasus oknum polisi yang melakukan “tilang” (bukti pelanggaran) terhadap pengendara bermotor dengan delik pelanggaran, kemudian dilakukan “damai” dengan memberi uang kepada petugas Polisi Lalu Lintas, misalnya, adalah etalase citra buruk polisi kita selama ini. Bukan rahasia lagi, bahwa budaya “uang damai” dilakukan karena oknum polisi harus memenuhi “setoran” untuk atasannya. Tentu, kalau kita lebih jauh menelisik adanya uang “pelicin” puluhan juta rupiah yang harus diserahkan jika seseorang ingin lulus dan diterima sebagai anggota Polisi. Hal itu bukan lagi suatu yang tak lazim dalam institusi polisi kita.

Apresiasi memang pantas diberikan pada polisi lalu lintas (Polantas), Mereka sangat berperan mengamankan dan melancarkan lalu lintas, tingkat kecelakaan berkurang, pencegahan kemacetan, apalagi secara higinis polisi (Polantas) berdiri diterik matahari dan menghirup asap kendaraan, dapat menggagu kesehatannya. Maka kepada kecaman pun layak kita timpakan kepada pengendara kendaraan yang dengan semauanya mengemudi, melanggaran aturan dan rambu-rambu lalu lintas. Begitu pun budaya “damai-damai” tetaplah suatu kesalahan dan melanggar hukum.

Budaya “damai” atau dikenal “86”, tindakan represif dan arogam yang dilakukan petugas Polisi, sungguh dapat mencoreng citra korp kepolisian. Akibatnya, “ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga”. Karena ulah seseorang atau beberapa petugas Polisi akan menjadi noda hitam bagi institusi kepolisian itu sendiri. Padahal, tidak bisa dinafikan kepolisian telah banyak berperan dalam stabilitas keamanan, penyelamatan generasi muda dari narkoba, sosialisasi hukum, bimbingan masyarakat, serta sejumlah peran nyata yang diikuti aksi sosial sangat mulia. Tapi marwah Polisi menjadi buruk karena tindakan oknumnya.

Citra yang ditampilkan petugas Polisi dengan budaya “damai-damai” di jalan raya, misalnya, telah menimbulkan stigma salah terhadap Polisi. Masyarakat menganggap, kalau mereka berbuat salah, maka cukup dengan “damai” sudah dianggap benar. Masyarakat juga menganggap begitulah penyelesaian pelangaran hukum di negeri kita.

Tanpa perlu ikut prosedur, cukup dengan memberikan sejumlah uang “pelicin” maka semua masalah dapat diselesaikan . Jika ini tidak dicegah, berarti Polisi sedang melakukan pengajaran kepada masyarakat tentang budaya hukum yang salah. Eksesnya, masyarakat tidak perlu taat dan patuh hukum, dan gulirannya kejahatan meningkat, dan kesadaraan hukum masyarakat menjadi hilang.

Profesional polisi

Peningkatan profesionalisme Polisi setiap HUT Polisi (Tanggal 1 Juli) selalu menjadi tema dan ditegaskan Kapolri. Namun amanat tinggal amanat, pidato sang Inspektur hanya sekedar wacana di media. Sebab kenyataan amanat tersebut belum mawujud di lapangan dan ditampilkan para petugas kepolisian. Mulai razia kendaraan yang liar sampai pemerasan, ugal-ugalan di jalanan, dan tindakan premanisme dan brutal anggota polisi, masih menjadi ingatan masyarakat.

Sebagai Polisi yang bertindak secara personal karena ia memang sebagai kekuatan Kamtibmas, maka profesionalisme sebenarnya harus menjadi “acuan” dalam setiap tindakan di lapangan. Ini yang harus ditegaskan para pimpinan Polri. Penegasan bukan sekedar wacana tapi diserta “penghargaan” bagi yang profesional, dan “hukuman” tegas bagi tidak profesional.

Institusi kepolisian sebagai lembaga pendidik dan pembinaan polisi harus mempertegas kembali profesinalisme itu. Tentu tidaklah cukup dengan sekedar kemampuan dan profesional, melainkan perlu dilandasi perbaikan dan pembinaan moral kepada setiap anggota Polisi. Penanam moral polisi sebagai pengayam dan pelindung masyarakat, harus dimulai dari personal dan institusi Polisi. Bagaimana, Polisi menanamkan moral dan citranya sehingga harus terlebih dahulu mengendepankan hati dan pikirannya sebagai Polisi profesional yang bermoral.

Kesadaran hukum dan moral yang tinggi ini hendaknya menjadi bahan renungan Polisi dalam memperingati HUT kelahirannya yang ke-61 pada saat ini. Kita percaya ketika situasi kamtibmas di Aceh sekarang makin tidak kondusif, mulai aksi kriminal, meningkatnya curamor, peredaran uang palsu, penggunaan senjata api yang bukan haknya,

peran Polisi yang profesional, menjadi dambaan masyarakat Aceh. Dirgahayu Polri, dirgahayu pengayom dan pengaman rakyat. (SERAMBI, 02/07/2007 08:04 WIB)

Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1067

Tidak ada komentar: