Minggu, 10 Agustus 2008

SAJAK-SAJAK WIRATMADINATA

Wiratmadinata:

Hujan turun berabad-abad

Hujan turun berabad-abad dalam sejarah kami
Airmata langit yang meruah ingin dipahami
Hujan air mata yang tak mampu menembus
Kemarau cinta dan kasih sayang bagi bumi

Hujan turun berabad-abad dalam hati kami
Keringat Tuhan yang mengirim wahyu
Hujan keringat yang tak terbayarkan
Oleh cinta dan kasih sayang yang diberikan

Hujan turun menderas berabad-abad dijantung kami
Darah dari nyawa jelata yang tertumbalkan
Hujan darah yang direnggut berhala ideologi
Merajam cinta kasih yang diajarkan kitab suci

Hujan air mata. Hujan keringat. Hujan darah
Yang turun berabad-abad dalam sejarah
Dari tubuh mereka yang tak berdosa
Dengan apakah ia akan terbayarkan?

Hujan yang turun berabad-abad itu, ya, Tuhanku
Turunkanlah ia seperti doa menghapus petaka
Turunkanlah bagai tangan para nabi yang suci
Yang membasuh kelam, dendam dan benci.

(Dataran Qalb, 24 November 2004)


Wiratmadinata:

Katakan saatnya telah tiba

Jika kau berikan aku keagungan puisi
Biarkan ia menjelma mantera dan jampi
Mengubah kebencian menjadi cinta kasih
Tak menyalak lagi senjata dan dendam pergi

Jika kau berikan aku keindahan
Izinkan ia menjelma harapan
mengisi mulut-mulut lapar
Yang mengais remah di jalanan

Tapi kau senantiasa berahasia
Membiarkan kata-jiwaku terluka
Sedangkan mulut telah berbuih dan penah telah patah
Pintu yang kuketuk masih belum juga terbuka

Engkau tiupkan ruh kedalam segumpal darah
Engkau jumput raga dari tanah lempung yang sama
Engkau urapi kasih sayang dari rahim kaum hawa
Engkau hidupi dengan berkah tiada batasnya

Tapi satu jiwa merenggut jiwa yang lainnya
Tangan siapakah yang menggerakkannya?
Tapi duka telah letih merangkaki arasymu yang mulia
Tangan siapakah yang akan menghentikannya?

Katakanlah saatnya telah tiba
Dan kau akan bicara; kebenaran telah datang!

(Dataran Qalb, 24 November 2004)

Wiratmadinata;

Maafkan syairku, saudara

Maafkan syairku yang tak menjelma matahari
puisi membeku terbungkus dinding gelap
Sayapnya basah oleh ketakutan tak berbentuk
Terkapar disudut kotor kemiskinan daya hidup

Maafkan syairku yang tidak membangkitkan
Kata tak berjiwa menggigau dalam gelap
Gaungnya menggumam di angkasa hipokrasi
Maknanya terjerembab disudut hati yang mati

Maafkan syairku yang tak mengubah malam
Kias maknanya tak merasuk ke jantung kalbu
Tiada cahaya bagi galau hidup yang gaduh
Hanya seberkas kata hampa, lagu tanpa nada

Maafkan syairku, maafkan syairku, saudara,
Ia tak pernah bisa menjelmakan tangan Tuhan.

(Dataran Qalb, 24 November 2004)

Wiratmadinata:

Sajak dibawah hujan.

Aku menulis sajak dibawah hujan
Saat semesta raya sejenak menjadi gaib
Menelan sajakku yang raib ditengah kabut
Dan tanah becek tak berdaya menyimpan kenangan

Dimanakah Ayah dan Ibu kita, saudara?
Dimanakah masa silam bersembunyi?
Hingga kita terlempar seperti waktu
Tak bisa kembali mengitari masa lalu

Aku menulis dibawah hujan
Selalu terkenang sejarah air mata
Mengapa harus ada yang ditangiskan
Karena segalanya niscaya Tuhan.

Dibawah hujan aku merasa terbebaskan
Semua cerita menguap bersama derainya
Gemuruh langit dan kaca jendela yang buram
Menelan segala ihwal tentang jiwa yang jalang

Aku ingin selalu menulis dibawah hujan
Ketika langit dan bumi bersih dari noda
Ketika jiwa terbebaskan dari duka dan bahagia
Saat sesuatu yang gaib menuntun kalbuku.

(Dataran Qalb, 24 November 2004)

Tidak ada komentar: