Kamis, 28 Agustus 2008

Pembangunan Good Governance Lewat Pembaharuan Parlemen



Oleh: Bahrul Ulum | Alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh |

Sejak reformasi bergulir di negeri ini, wacana mengenai tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) telah mewarnai berbagai diskusi dan berbagai literatur, pemerintahan yang baik menjadi issu yang krusial di masyarakat baik tingkat nasional maupun daerah. Namun sayangnya, proses menuju Good Governance masih terkendala, walaupun pemerintah telah melakukan pembenahan baik dari sisi kebijakan politik dan hukum untuk mendukung lahirnya sebuah tata pemerintahan yang baik.

Tulisan ini mencoba menyoroti “parlemen” atau lembaga legislatif sebagai salah satu sektor yang sangat penting bagi pembangunan good governance dimana peran dan fungsinya telah menjadi tolok ukur bagi pembangunan tata pemerintahan yang baik di Indonesia dan di daerah-daerah. Terkait dengan tiga fungsinya yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan yang telah melekat di parlemen didalam menilai dan mengukur kerja-kerja lembaga eksekutif, tentunya, tiga fungsi tersebut telah menjadi bahagian di dalam pembangunan sebuah pemerintahan yang baik, namun disadari bahwa didalam diri parlemen sendiri terdapat banyak persoalan yang perlu dibenahi terkait dengan pembangunan institusi tersebut sebagai salah satu sektor pembangunan good governance.

Setidaknya ada beberapa indikator penting pemerintahan yang baik, yaitu 1 keterbukaan (transparansi), (2) partisipasi masyarakat, (3) akuntabilitas, (4) supremasi hukum, (5) profesionalisme, (6) responsif (daya tanggap), dan (7) efisiensi. Indikator-indikator ini tentunya menjadi ukuran bagaimana suatu pemerintahan dijalankan dan aparatur pemerintahan bekerja, karena ketika kita berbicara mengenai tata pemerintahan, maka pendekatannya lebih menjurus kepada persoalan-persoalan tentang kenegaraan dan administrasi negara.

Namun sayangnya, parlemen kita belum dapat dikatakan memenuhi beberapa unsur tersebut diatas, hal ini disebabkan dari sistem rekrutmen yang setengah terbuka, dimana dominasi partai sangat kental, kondisi ini berdampak kepada model perwakilan yang menempatkan legislatif sebagai wakil partai politik, bukan wakil rakyat. Konsekuensi dari penerapan sistem pemilu proporsional dengan daftar yang ditentukan partai politik adalah adanya kecenderungan anggota legislatif untuk mengabaikan konstituennya karena anggota legislatif lebih terikat pada partai. Karena itu, rakyat sulit mengontrol kinerja anggota legislatif. Akibatnya, transparasi dan akuntabilitas sulit terbangun di parlemen, parlemen dapat dikatakan bukan institusi yang demokratis melainkan sebagai institusi yang oligarki karena peran pimpinan sangat besar di dalam menolak dan menentukan kebijakan di parlemen

Dari segi profesionalisme dan efiensi, para anggota legislatf sering lebih mendahulukan “politicking” partai dari pada berdiskusi dan menyusun Undang-Undang (UU) yang berguna, kemampuan bernegosiasi dan mencapai kesepakatan dalam masalah-masalah tata pemerintahan dan pembangunan di rasa masih sangat kurang. Kualitas individu anggota legislatif sebenarnya berkaitan dengan kemampuan pelaksanaan fungsi-fungsi parlemen, seperti fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Karena itu, tingkat pendidikan formal sebenarnya tidak memadai jika tidak diimbangi pengalaman politik, kematangan pribadi, kemampuan intelektual, dan moralitas. Hal ini ditambah dengan enggannya anggota legislatif memanfaatkan jasa-jasa penelitian yang disediakan oleh sekretariat parlemen, padahal hal tersebut sangat penting untuk mendukung profesionalitas dan sumber daya manusia masing-masing anggota legislatif.

Dalam hal akses informasi, partsipasi publik dan respon yang diberikan, lembaga legislatif tidak secara sistematis menyediakan akses dan kesempatan kapada warga dan organisasi-organisasi warga untuk berkonsultasi dalam penyusunan UU atau mengajukan rancangan UU mereka sendiri ke agenda parlemen, hal ini juga belum menjadi hak yang dapat diterima dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Akses berkonsultasi dengan anggota legsilatif masih dilandasi dengan adanya hubungan pribadi dan kekuasaan politik, dan belum adanya mekanisme penyerapan aspirasi yang memadai dari legislatif, untuk melihat kebutuhan konstituen atau rakyat, dimana selama ini hanya masa reses yang digunakan oleh anggota legislatif untuk menjaga konstituennya, namun sayangnya ajang ini hanya dijadikan sebagai posisi tawar politik bagi pemilu berikutnya.

Pembaharuan parlemen
Dari pemaparan tersebut bahwa sesungguhnya pembaharuan atau mereformasi parlemen menjadi suatu tuntutan bagi pembangunan Good Governance di tataran nasional dan di daerah-daerah. Ada beberapa solusi yang perlu di perhatikan, pertama, perbaikan mekanisme rekrutmen dan model perwakilan, antara lain melalui perubahan sistem pemilu menjadi sistem distrik preferensial sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya sendiri tanpa didominasi partai politik. Hal ini akan lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas dari parlemen, dan dapat mendorong partisipasi dan membuka akses kontrol yang lebih luas dari masyarakat. Kedua, peningkatan sumber daya manusia, dan diwajibkan kepada setiap anggota legislatif untuk memiliki tim ahli kepakaran, mengingat anggota parlemen di dominasi oleh tingkat sumber daya yang berbeda, dan belum tentu memahami semua persoalan, hal ini penting untuk menjamin dan menjaga akuntabilitas dan efisiensi kinerja mereka sebagai anggota legislatif yang nantinya akan memberikan keputusan-keputusan strategis di dalam jalannya roda pemerintahan dan negara

Ketiga, parlemen perlu membuka akses dan menyediakan akses informasi kepada publik yang didukung oleh skretariat legislative, berkaitan dengan hal-hal yang telah mendapat keputusan tetap dalam rapat-rapat paripurna, hal ini penting bagi legislatif sendiri untuk membangun transparasi, dan juga membuka kontrol yang lebih luas dari masyarakat terhadap kinerja legislatif.

Ketiga hal tersebut diatas akan menguatkan anggota legislatif dan parlemen sebagai sebuah institusi kenegaraan yang melaksanakan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Legislasi misalnya membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat. Dilihat dari sisi substansi, legislasi harus mencerminkan kepentingan publik dan strategis bagi percepatan pembangunan daerah. Dilihat dari sisi yuridis, legislasi harus merupakan perangkat hukum yang mampu membangun kepastian hukum. Dari sisi praktsis, legislasi harus feasible, politically accepted, administratively feasible, economically efficient. Begitu juga dengan fungsi pengawasan yang diwujudkan didalam melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan Perundang–undangan, anggaran dan kebijakan pemerintah, dan fungsi anggaran di dalam menetapkan anggaran dan menilai anggaran tersebut sesuai dengan prosedur atau tidak.

Akhirnya pembaharuan parlemen adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk segera dilakukan, karena parlemen adalah institusi penentu kebijakan yang sangat penting di dalam penyelenggaraan negara.
http://www.acehinstitute.org/opini_bahrul_pembaharuan_parlemen.htm

Tidak ada komentar: