Rabu, 03 September 2008

PEMBUNUHAN DAN KESESATAN PENGADILAN

Saifuddin Bantasyam, Dosen FH Unsyiah, program studi hukum dan Hak Asasi Manusia

Errare Humanum Est––khilaf adalah insaniah. Manusia bukan saja tak luput dari kekhilafan dan kekeliruan, melainkan justru merupakan sumber kedua sifat itu. Tetapi apabila instansi yang bertanggungjawab atas keadilan menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak bersalah, maka instansi itu telah melakukan pembunuhan, baik berupa pembunuhan jiwa maupun pencemaran nama baik. Atau bahkan berupa peruntuhan sukses dan kebahagiaan seseorang beserta kaum kerabatnya.

Di Inggris, seorang ayah dihukum gantung, dipersalah memperkosa dan membunuh anaknya. Segala upaya sang ayah membebaskan diri dari tuduhan, tak berhasil sama sekali. Semua kepingan fakta menyudutkannya, termasuk media dan masyarakat Inggris. Sepuluh tahun setelah eksekusi gantung itu, seorang pemerkosa dan perampok yang akan menaiki tiang gantungan mengakui dialah yang memperkosa dan membunuh anak gadis tadi. Bagaimana bisa?Perampok itu meninggalkan dengan sengaja barang-barang kepunyaan sang ayah yang dicurinya didekat mayat gadis itu, agar ayah gadis itulah yang kena getahnya. Dalam kesaksiannya di depan hakim, ia berhasil menyudutkan ayah sang gadis. Namun sesaat sebelum menghadap Tuhan, ia merasa sangat menyesal dan ingin menebus keburukannya, kendati pun sudah terlambat.
Ketika berstatus mahasiswa dulu, Tahun 1984, saya membaca berulang-ulang buku karangan Hermann Mostar (diterjemahkan oleh Graifit Pers tahun 1983) berjudul Peradilan Sesat. Buku itu mendokumentasikan 13 kasus atau kejadian yang disebutnya dengan pembunuhan peradilan di beberapa negara di Eropa, di abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20, yang masing-masing terjadi karena satu atau lebih kesalahan-kesalahan pada setiap proses hukum yang berakhir dengan pemidanaan.

Kasus Imam Hambali dan David

Tersingkap berita kasus salah tangkap dan salah hukum atas diri Imam Hambali (Kemat) dan Devid Eko Priyanto beberapa hari lalu, sekedar untuk membandingkan kejadian di Eropa dengan Indonesia. Kedua orang itu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jombang Jawa Timur, masing-masing dihukum 17 dan 12 tahun penjara pada Mai lalu karena bersalah membunuh tetangga mereka, Asrori. Mayat Asrori ditemukan dalam kondisi rusak di kebun tebu tahun 2007. Selama penyidikan polisi, penuntutan jaksa, dan persidangan oleh hakim, temuan mayat itu digunakan sebagai pembuktian.

Setelah hakim menghukum mereka, diketahuilah bahwa mayat di kebun itu ternyata bukan Asrori sebab Asrori yang asli dibunuh oleh Ryan, tersangka pembunuhan berantai asal Jombang, yang mayatnya ditemukan di rumah Ryan bersama dengan beberapa mayat tersangka lainnya. Kesimpulan itu tak hanya didasarkan pengakuan Ryan, melainkan juga didasarkan pada uji DNA pada kedua orangtua Asrori (yang dibunuh Ryan). Polisi mengakui ceroboh dalam menangani kasus ini.

Di Indonesia, dulu ada kasus Sengkon dan Karta tahun 1977, yang dihukum oleh Pengadilan Negeri Bekasi Jawa Barat atas dasar hanya karena sentimen dan prasangka. Kedua orang itu memang disebut memiliki masa lampau yang kurang baik, dan masyarakat yang sudah diselimuti oleh prasangka membebankan dosa atas perampokan dan pembunuhan seorang warga bernama Sulaiman kepada mereka. Para saksi yang berprasangka telah menyudutkan Sengkon dan Karta, dan hakim menjadi korban sugesti saksi-saksi dan menghukum keduanya dengan hukuman seumur hidup.

Tiba-tiba muncul Gunel, yang bercerita kepada kerabat Sengkon dan Karta bahwa dirinya-lah yang membunuh Sulaiman. Gunel tak tega melihat nasib kedua pesakitan itu, dihukum tanpa melakukan kesalahan. Gunel ingin menebus perasaan berdosanya. Perkara Sengkon dan Karta itu dilakukan peninjauan kembali, keduanya dibebaskan, meskipun tidak mendapat ganti rugi apapun karena sistem yang berlaku saat itu.

Kasus lain di Bekasi, di mana Budi Sarjono juga menjadi korban salah tangkap oleh polisi dan ditahan pada Tahun 2002. Budi dituduh membunuh ayahnya dan menganiaya ibu kandungnya. Awalnya Budi diperiksa sebagai saksi dan menyatakan bahwa dia menyaksikan sendiri bahwa yang bunuh dan menyiksa orang tuanya adalah orang bernama Marsin. Tetapi polisi tak percaya dan mengiming-iming seorang saksi dengan uang untuk memberikan kesaksian yang memberatkan Budi. Budi bernasib baik, diputus bebas murni oleh PN Bekasi pada tahun 2003. Pada Juli 2006, polisi mendatangi Budi dan mengatakan bahwa Marsin yang membunuh ayahnya sudah ditangkap. Budi tak pernah mendapatkan keadilan sedikit pun atas penahanan dan salah tangkap yang dialaminya.

Keadilan bukan statistik

Dalam kasus Kemat dan Devis, polisi mengatakan kasus itu dalam satu sistem, berkas sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa. Pihak Kejaksaan Agung kemudian membuat pernyataan di media massa bahwa pihaknya bekerja atas dasar bukti-bukti yang disodorkan polisi. Sedangkan Ketua Majelis Hakim mengatakan bahwa mereka telah bertindak benar, apalagi kesimpulan polisi bahwa mayat di kebun tebu pada 29 September 2007 adalah Asrori, juga berdasarkan keterangan keluarga korban.

Ketiga institusi itu tidak boleh bersikap eskapis dan saling menyalahkan, atau menegasikan sedemikian rupa kasus tersebut dengan mengatakan bahwa diantara puluhan ribu kasus yang sudah diadili dan diputuskan, maka kesalahan hanya terjadi dalam beberapa kasus saja. Atau kejadian itu dianggap wajar-wajar saja karena polisi, jaksa dan hakim adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Atau menjustifikasikan kesalahan seperti tuturan dalam bahasa Aceh, pat ranum yang hana mirah, pat peunarah yang hana bajoe, pat ureung yang hana salah, hana aweue na bak dudoeu.

Kita ingin mengatakan; piyoh, Teungku! Sebab kita sedang bicara tentang keadilan. Pokok masalah bukan pada data statistik, banyak atau sedikit, melainkan pada apakah setiap kasus atau perkara itu ditangani dengan adil atau tidak. Sedemikian penting keadilan itu, maka jika tertunda pun, maka keadilan tidak lagi bermakna (justice delay, justice deny), apalagi jika kemudian tidak ada keadilan sama sekali. Itulah sebabnya sering dikatakan lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Keadilan itu sungguh mahal. Dalam hukum acara peninggalan Belanda, yang dicari adalah pengakuan tersangka, bukan keterangan tersangka. Karena itu, tersangka sering disiksa untuk mengaku. Kepada media massa Devid mengatakan bahwa dirinya disiksa oleh polisi untuk mengaku. Budi pun mengatakan dirinya juga diperlakukan kasar oleh polisi. Ini artinya ada aparat penegak hukum yang masih memakai cara-cara lama, yang melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan (yang sudah diratifikasi oleh Indonesia). Dulu, tidak ada teknologi tes DNA untuk membantu keakurasian hasil pemeriksaan mayat, tetapi ketika teknologi itu ada, ada aparat yang merasa cukup bekerja dengan indera semata.

Beberapa hal perlu ditekankan, pertama, penegakan keadilan memerlukan (isi) hukum yang baik, tetapi hukum yang baik memerlukan juga orang yang baik, dengan integritas moral yang tinggi, serta pengetahuan dan keahlian serta pengalaman yang luas dan memadai. Sebab orang-orang yang demikian normalnya akan mengakui kekurangan dan kesalahan, dan mau mengoreksi kekurangan dan kesalahan itu, serta mau belajar tentang pengetahuan dan keahlian yang baru. Dengan ilmu dan keahlian, mereka menekuni pekerjaannya seacara profesional, termasuk menggunakan teknologi andal untuk menemukan keadilan yang dicari oleh negara dan rakyatnya.

Kedua, republik ini perlu berkaca pada kasus-kasus salah tangkap atau pembunuhan dan kesesatan peradilan. Pada tingkat teknis, profesionalitas sumberdaya manusia perlu dilengkapi dengan teknologi-teknologi maju untuk memudahkan pembuktian. Tetapi teknologi tetap tergantung kepada penggunanya, the man behind the gun.

Ketiga, hukuman mati adalah hukuman yang tak bisa dikoreksi. Sekali dieksekusi, kemudian mati. Sudah saatnya negeri ini memikirkan ulang penjatuhan hukuman mati ini, khususnya di tengah keadaan tidak adanya keterandalan aparat dalam bekerja. Bayangkan jika dulu Sengkon dan Karta, Kemat dan Devid, serta Budi Sarjono dikenakan hukuman mati dan sudah dieksekusi, kemudian pelaku kejahatan yang sebenarnya datang membuat pengakuan atau ditangkap polisi.

Keempat, negara berkewajiban untuk memfasilitasi mereka dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan yang mereka cari. Di atas dinukilkan Errare Humanum Est––khilaf adalah insaniah.Tetapi polisi yang salah tangkap dan tidak melalukan tes DNA, jaksa dan hakim yang tidak teliti, tidak semata-mata dapat dimaafkan karena atas dasar khilaf adalah manusiawi. Hukum harus berlaku sama atas semua orang; jika rakyat jelata bisa diadili karena salah dan khilaf, maka demikian juga harus berlaku kepada aparat penegak hukum dan keadilan, apapun jabatan dan pangkat mereka. Rakyat menunggu, termasuk menunggu siapa sesungguhnya “Asrosi” di kebun tebu itu dan siapa pembunuhnya.***

www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1778

Tidak ada komentar: